Siapa yang mengira Bapak Bangsa ini, Proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden Pertama Republik Indonesia, menjelang akhir hayatnya mengalami hidup yang sangat memprihatinkan. Dikucilkan oleh penguasa Orde Baru dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan, dipisahkan dari orang-orang yang dia cintai, diperlakukan seperti pesakitan. Pemimpin besar revolusi ini sakit bukanlah karena usianya yang memang sudah tua, karena pada saat dia dikucilakan tidak lama setelah penanda tanganan Supersemar, 11 Maret 1967., artinya saat itu usia beliau barulah 67 tahun. Pada 12 Maret 1967, keluar TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang melucuti kekuasaan eksekutif Bung Karno. Melalui TAP itu juga Soeharto diangkat jadi pejabat presiden.
Kisah yang memprihatinkan setelah kekuasaannya di lucuti diceritakan oleh bekas ajudan terakhirnya Bung Karno, Sidarto Danusubroto yang kala itu berpangkat adjun komisaris besar polisi (AKBP) ditugasi menjadi ajudan Bung Karno. Dia menggantikan Kombespol Sumirat yang ditahan pasca-Supersemar. Surat keputusan pengangkatan Sidarto ditandatangani Bung Karno pada 22 Februari 1967.
Bung Karno menceritakan pada sidarto tentang pengucilan tersebut, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan dan lama-lama akan mati sendiri. ’’Tapi, catat ya To, (Sidarto, Red), jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh,’’ ungkap Sidarto menirukan ucapan Bung Karno.
Meski Soekarno sudah tidak mempunyai kekuasaan, Sidarto tetap tidak ditarik dari posisinya sebagai ajudan. Sewaktu menghadap pimpinan Polri, dia diperintah agar terus mendampingi Bung Karno. ’’Pemerintah memandang Bung Karno perlu didampingi ajudan. Jadi, saya melayani presiden yang ditahan,’’ tuturnya.
Tapi, untuk sementara, Soekarno yang diposisikan sebagai ’’presiden nonaktif’’ masih diperbolehkan tinggal di Istana Merdeka. Sampai suatu hari, sekitar Mei 1967, Bung Karno yang didampingi Sidarto yang baru saja pulang dari jalan-jalan keliling Jakarta dicegat dan dilarang masuk istana. ’’Saya ingat, beliau habis nyate (makan sate, Red) sama saya di pinggir Pantai Cilincing,’’ cerita Sidarto.
Karena tidak diperbolehkan masuk istana, Bung Karno langsung menuju kediaman Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, Red) di Jalan Gatot Subroto. Karena mendadak, presiden pertama republik itu tidak sempat berkemas. ’’Barang-barang pribadi beliau sama sekali tidak bisa dibawa,’’ ungkap mantan Kapolda Sumbagsel (1986-1988) tersebut.
Terusir dari istana juga berarti kehilangan fasilitas protokoler, termasuk sekretaris presiden. Karena itu, Sidarto kemudian mendapat tugas tambahan baru, yakni jadi ’’sekretaris’’ Bung Karno. ’’Jadi, saya sempat jadi ajudan sekaligus sekretaris dadakan Bung Karno. Hasil ketikan saya ya kurang proporsional seperti ini,’’ katanya sambil menunjukkan sejumlah copy surat yang masih disimpan dengan rapi.
Sejak meninggalkan istana, sebagian besar surat Bung Karno malah ditandatangani Sidarto. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pangdam VI Siliwangi Letkol Abas tertanggal 27 September 1967. Surat tersebut menginformasikan daftar nama para pekerja untuk penyelesaian rumah di Batu Tulis, Bogor.
Mengapa Bung Karno tidak menandatangani sendiri surat itu? ’’Ini kan soal teknis dan rutin dari presiden ke bawahan (Pangdam). Jadi, mungkin cukup ajudan saja yang menandatangani,’’ jelas pria kelahiran Pandeglang, 11 Juni 1936, itu.
Menurut Sidarto, tak lama setelah meninggalkan Istana Merdeka, Bung Karno tak ubahnya tahanan kota. Untuk mobilitas Jakarta-Bogor saja, Bung Karno harus mendapat izin tertulis dari Pangdam VI Siliwangi dan Pangdam V Djayakarta. Nah, tugas mengurus perizinan itu dibebankan ke pundak Sidarto.
’Jadi, tugas saya, bolak-balik mengurus exit permit dan entry permit. Jakarta-Bogor sudah kayak ke luar negeri saja,’’ ujar bapak lima anak itu sambil geleng-geleng kepala.
Pada penghujung Desember 1967, Bung Karno mulai berstatus tahanan rumah. Dia tak boleh lagi meninggalkan Wisma Yaso. Bahkan, keluarga dan kerabat sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.
Bung Karno tidak punya duit sepeser pun
Dalam periode susah seperti itu, Sidarto kembali mendapat pengalaman yang tak terlupakan. ’’Saya disuruh ke sana-kemari mencari duit. Sebab, Bung Karno tidak pegang duit,’’ katanya.
Menurut dia, Bung Karno memang seorang negarawan yang genius. Namun, soal keuangan pribadi, dia tak begitu memperhatikan. Karena itu, saat jadi tahanan rumah, Bung Karno sering kehabisan uang pegangan maupun uang untuk biaya hidup sehari-hari.
’’Sewaktu disuruh mencari duit itulah, saya sempat bingung dari mana bisa memperolehnya. Sebab, orang-orang dekat Bung Karno sewaktu saya dekati malah lari semua. Mereka takut. Hanya satu-dua orang yang masih setia,’’ ujar Sidarto.
Suatu ketika, Bung Karno meminta Sidarto menemui Tukimin, mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka. Tanpa kesulitan berarti, Sidarto berhasil mendapatkan USD 10 ribu dari Tukimin.
Kesulitan justru terjadi saat hendak membawa uang itu ke Wisma Yaso. Sidarto takut digeledah penjaga, kemudian uangnya disita. Tak kehilangan akal, dia lalu memasukkan uang tersebut ke kaleng biskuit. Dia lantas menemui Megawati dan meminta putri Bung Karno itu membawakannya untuk Bung Karno. ’’Mbak Mega yang bawa masuk. Mbak Mega kan bisa beralasan mengunjungi ayahandanya,’’ kenang Sidarto.
Pada 23 Maret 1968, turun surat resmi dari Markas Besar Angkatan Kepolisian (saat ini Mabes Polri, Red) yang berisi penarikan Sidarto dari posisinya selaku ajudan Bung Karno. ’’Saat kondisi kesehatan Bung Karno semakin lemah, fungsi ajudan semakin tidak diperlukan. Yang lebih dibutuhkan adalah dokter dan perawat. Saya lalu diminta Panglima Angkatan Kepolisian (saat ini disebut Kapolri, Red) Soetjipto Joedodihardjo untuk ditarik,’’ jelasnya.(Tulisan kisah ini sepenuhnya saya copas dari tulisannya Sdr. Abdul syair di Blog Kumpulan Pikiran.)
Membaca kisah diatas, betapa Bung Karno sampai akhir hayatnya tidaklah memiliki apa-apa. Sebagai penguasa selama 32 tahun semua yang dimilikinya adalah fasilitas negara, dan begitu beliau tidak berkuasa lagi semua fasiliutaspun ditarik kembali oleh pemerintah yang berkuasa. Sangatlah kontras dengan pejabat dimasa Orde Baru dan Orde Reformasi ini, yang bergelimang fasilitas juga kekayaan harta. Ketulusan pengabdian sangat jauh dari harapan, selalu merasa kekurangan dengan segala fasilitas yang sudah diberi. Harta dan kekayaan serta kemewahan dijadikan alat untuk bergengsi, standar kehormatan dinilai dari pangkat dan jabatan, bukanlah dari akhlak dan budi pekerti.
Semoga saja dengan membaca tulisan ini kita bisa mengambil hikmah dan manfaat dari sejarah. Mempelajari sejarah masa lalu bukanlah sesuatu yang salah. Mencari kebenaran fakta sejarah adalah merupakan kewajiban generasi penerus Bangsa, karena Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya.
Jakarta, 5 Juni 2011
Tulisan ini saya posting dalam rangka memperingati hari Lahir President Pertama RI, Ir. Soekarno, tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya.
Bung Karno benar-benar seorang pahlawan sejati, tapi sayang sekali penguasa Orba telah tuli dan buta dengan kekuasaan. Mereka bengis dan tidak berperikemanusian. Itulah tandanya orang-orang yang mendapat kekuasaanpun dengan cara licik.
BalasHapus