Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

"Hukum dimata Tuan"

illustrasi : rotualilis.blogspot.com


"HUKUM DIMATA TUAN"
Hukum bagi Tuan seperti mainan
hari ini Tuan katakan hukum Tajam kebawah
Tumpul keatas..
Kemarin Tuan mati-matian mencampuri hukum
agar tumpul keatas..agar anak tuan tidak menjadi terdakwa..
Tuan katakan tidak ada diskriminasi hukum
hukum berlaku untuk semua...tapi tidak berlaku bagi anak Tuan
Hukum dimata Tuan seperti mainan
ketika ada keinginan Tuan menebar berbagai rayuan
menebar berbagai keberpihakan bagi rakyat
setelahnya Tuan lupa..
Tuan menjadi lupa karena ingin berkuasa
Tuan tidak ingat dosa karena Tuan sedang berkuasa
Dimimbar..Tuan seketika seakan Malaikat penolong
yang akan menyelematkan bangsa..
tapi Tuan lupa..kalau rakyat selalu ingat dosa-dosa Tuan..
Jakarta, Juni 2014

Inilah Alasan Australia Menyadap SBY dan Ani Yudhoyono



Merdeka.com - Berita soal penyadapan yang dilakukan intelijen Australia masih terus berlanjut. Harian The Australian kini membeberkan alasan aksi mata-mata terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibu Negara Ani Yudhoyono .

Hanya berselang tiga hari sebelum berlangsungnya kampanye di Australia, kabel diplomatik berstempel 'rahasia' dikirimkan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta kepada diplomat AS di Canberra dan CIA. Kabel ini membicarakan dinamika baru peta politik Indonesia.

Para intelijen ini meyakini ada pemain yang menjadi penasehat penting bagi SBY. Orang tersebut bukan wakil presiden, bukan pula menteri dalam kabinet SBY, tapi istrinya sendiri, Ani Yudhoyono .

"Keberadaan Kristiani Herawati telah mengorbankan penasehat kunci lainnya. Ibu negara diduga telah memanfaatkan akses kepada presiden untuk membantu teman-temannya dan menjatuhkan lawannya, termasuk Wakil Presiden (Jusuf) Kalla," tulis kabel tersebut, Minggu (15/12), seperti dikutip dari The Australian.

Informasi tersebut membuat Direktorat Pertahanan Signal dan mata-mata lain yang bertempat di Canberra ingin mengetahui lebih jauh dinamika baru itu. Mereka menilai Ibu Ani memainkan peran untuk membangun dinasti keluarga dengan memasang Agus Harimurti Yudhoyono sebagai presiden selanjutnya.

Tak hanya itu, sumber di Wikileaks juga menyebutkan Ani Yudhoyono adalah satu-satunya orang yang mendapat kepercayaan penuh dari presiden dalam menghadapi setiap isu. "Ibu Ani adalah satu-satunya orang yang Presiden benar-benar bisa percaya pada setiap masalah dan sebagai presiden jalan untuk menuju paruh kedua masa jabatannya, ia semakin bergerak di berbaris dengan istrinya," ungkap Wikileaks.

Harian The Australian juga menyebutkan, Ani sangat berambisi untuk menempatkan Agus Harimurti dan menjadikan ibu negara sebagai capres 2014. Jabatan itu dilakukan sampai putranya mencapai usia yang cukup sampai dapat dipilih menjadi presiden pada Pemilu 2019.
[tyo]

Istimewanya Boediono Dihadapan KPK

foto : tribunnews.com


 Kenapa KPK secara diam-diam melakukan pemeriksaan terhadap Wapres Boediono, terkait sebagai saksi Kasus Bank Century, pada hari ini,Sabtu (23/11/2013), dan pemeriksaan pun dilakukan di Kantor Istana Wakil Presiden bukanlah di Kantor KPK. Apakah memang ada perlakuan khusus dalam terhadap seorang Wakil Presiden, bukankah Abraham Samad selalu mengatakan, dihadapan hukum hak semua orang sama. ? 

Pemeriksaan terhadap Boediono ini dianggap tidaklah lazim, karena tidak dilakukan dikantor KPK tapi di Kantor Wakil Presiden. Politisi Partai Golkar yang juga merupakan Timwas Kasus Century, Bambang Soesatyo (BS) mengetahui kalau Penyidik KPK diam-diam melakukan pemeriksaan terhadap Boediono di Kantor Wakil Presiden, terhadap hal tersebut BS mempertanyakan perlakuan KPK terhadap Wapres Boediono yang terkesan diskriminatif.

 Seperti yang katakannya pada TribunNews.com:

 “Sebagai anggota Timwas Kasus Century, saya berpendapat pemeriksaan Boediono oleh KPK di kantor Istana Wapres hari ini,  menimbulkan tanda tanya dan diskriminasi. Sehingga semakin menguatkan kesan publik bahwa KPK mengistimewakan Boediono. Padahal, setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum,” sindir Bambang Soesatyo.

 Sementara itu dalam konfrensi Persnya dengan para pewarta media kemarin (23/11/13) malam, Wapres Boediono memberikan alasan, pemeriksaan terhadapnya oleh KPK tidak dilakukan di Gedung KPK dikarenakan standar protokoler Wakil Presiden, yang menyangkut sterilisasi gedung tempat pemeriksaan, hal ini akan sangat mengganggu kegiatan digedung KPK, maka dari itu pemeriksaan dilakukan di Kantor Wakil Presiden.

 “Ini protokoler kenegaraan, sebelumnya harus ada sterilisasi dulu dan nanti sangat mengganggu,” kata Boediono kepada wartawan dalam keterangan pers di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Sabtu (23/11/2013) malam.(Kompas.com)

 Terkait pemeriksaan terhadap Wakil Presiden Boediono ini, Juru Bicara KPK Johan Budi saat dikonfirmasi media mengatakan, secara resmi para pimpinan KPK akan memberikan penjelasan pada hari Senin (25/11/13). Apakah KPK juga akan menjelaskan kenapa pemeriksaan terhadap Boediono dilakukan diam-diam,? Semoga saja demikian, agar semua menjadi jelas dan tidak menimbulkan berbagai tanda tanya. 

Memanglah sesuatu yang tidak lazim bisa saja menjadi lazim, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang lazim pun bisa menjadi tidak lazim kalau bagi kekuasaan, padahal seharusnya dihadapan hukum hal seperti ini tidaklah berlaku, begitulah semestinya hukum harus ditegakkan.

Negeri Ini Dikuasai "Para Maling"




“Secara prosedural, demokrasi di Indonesia sudah cukup bagus. Namun secara substansial, masih harus banyak diperbaiki. Sistem demokrasi yang sekarang dikuasai para maling. Hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa naik. Setelah berkuasa, mereka kembali maling untuk mengembalikan sekaligus meraup untung dari investasi yang dikeluarkan. Yang terjadi seperti lingkaran setan.” Ini bukan kata saya, tapi ini kata seorang Pakar Indonesia dari Notrhtwestern University AS, Prof. Jeffry Winters.

Apa yang dikatakan Jeffrey ini tentunya bukanlah sebuah ucapan yang tidak bisa di pertanggung jawabkan, tapi realitanya memanglah demikian. Lihat sistem pemilihan Kepala pemerintahan yang kita terapkan sekarang ini, baik Pemilu Presiden maupun Pemilu Kada, semua berbiaya mahal, seakan biaya politik itu sangatlah mahal. 

Bayangkan saja untuk menjadi Kepala daerah saja, seorang calon kepala daerah harus menghabiskan anggaran dari ratusan milyar bisa sampai triliyunan, untuk melicinkan semua jalan dalam pemilukada, dan uang yang segitu banyak tentunya di upayakan dengan berbagai cara, begitu terpilih, maka uang yang sudah di keluarkan pun harus segera dikembalikan dengan berbagai cara pula, makanya banyak kepala daerah yang pada akhirnya berurusan dengan KPK.

Sistem politik seperti inilah yang pada akhirnya merusak moral para pejabat negara, dan tatanan moral pada para penyelenggara. Kejahatan tindak korupsi seperti tersebut diatas, tidak mungkin hanya dilakukan oleh orang perorang, dan pastinya dilakukan secara kolektif dan berjama’ah. Sistem seperti ini kalau cepat tidak berubah, maka selamanya para penyelenggara negara ini akan terjerat politik uang. Jeffry Winters juga mengingatkan, salah satu kegagalan utama gerakan reformasi 1998 di Indonesia adalah tidak disiapkannya sistem hukum yang kuat. Karenanya, Indonesia menjadi suatu negara yang anomali.

“Ada demokrasi tapi tanpa hukum. Demokrasinya tumbuh, tapi hukumnya tunduk di bawah kendali mereka yang kuat jabatan dan atau uangnya,” kata Jeffry dalam diskusi perubahan bertema Pengadilan Hosni Mubarak; Pelajaran bagi Indonesia yang diselenggarakan Rumah Perubahan, di Duta Merlin, Jakarta Pusat (Selasa, 9/8). (Pedomannews.com).

Menegakkan demokrasi tanpa menegakkan hukum, maka demokrasi tidaklah akan berjalan dengan semestinya, karena hukum merupakan pilar yang sangat penting dalam penyelenggaraan demokrasi, sementara sekarang ini, hukum masih menjadi alat penguasa, lembaga dan institusi hukum (Yudikatif) masih bekerja dibawah komado eksekutif, sekalipun secara hirarki eksekutif tidak bisa meng intervensi Yudikatif, tapi pada kenyataannya yudikatif tidak berjalan sesuai dengan aturan yang seharusnya.

Banyak kasus hukum yang masih terganjal dan tidak bisa ditindak lanjuti, hanya karena butuh restu dari eksekutif. Ketika hukum tidak tegak, maka demokrasi pun tidak akan bisa diselenggarakan, kalaupun terselenggara hanyalah bersifat semu belaka.

Lebih lanjut di katakannya, “Pemilihan presiden secara langsung sudah ok. Tapi karena calon harus dari partai, maka hanya para maling saja yang bisa tampil. Untuk tampil harus punya uang. Jadi negeri ini sudah dikuasai para maling. Rakyat harus bersatu mengubah sistem demokrasi maling seperti ini,” kata Jeffry.

Sumber tulisan di kutip dari Media Online, Pedomannews.com.

APBD Digunakan untuk "Belanja Sex"

bethebliss.com


Penyalahgunaan APBD untuk kebutuhan Seks memanglah sangat keterlaluan, dan ini bukanlah dalam kategori suap atau untuk entertain Client, tapi memang digunakan secara pribadi untuk kebutuhan Seks, yang tentunya dilakukan dengan perempuan penjaja Seks.

Inilah prilaku beberapa Kepala Daerah yang sudah diamati oleh KPK, namun KPK belum membuka siapa saja Kepala Daerah yang melakukan penyalahgunaan APBD untuk seks tersebut. Seperti yang dikatakan Direktur PJ KAKI KPK, Sujanarko, di sela-sela Forum Anti Korupsi III, di Hotel Four Seasons, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (30/7/2012),forum tribunews.com

Adanya beberapa kepala daerah yang menggunakan APBD untuk seks.
“Ada beberapa, aku nggak sebutin kepala daerah, tapi beberapa daerah korupsi habis untuk main seks saja,” jelas Sujanarko.

Kalaulah memang benar apa yang dikatakan Sujanarko ini, itu artinya pengawasan terhadap penggunaan APBD itu sangatlah tidak ketat, sehingga bisa disalahgunakan untuk hal-hal diluar kebutuhan APBD. Peluang ini tentunya didapat dari selisih Mark Up dari kebutuhan APBD yang sesungguhnya, atau juga memanglah APBD tersebut disalahgunakan, lalu ditutupi dengan laporan fiktif.

Yang saya tahu biasanya Pejabat Daerah yang memiliki kepentingan dengan pejabat Pusat, dan kepentingan ini di Goalkan lewat Entertain, nah entertainnya inilah yang bermacam-macam bentuknya. Yang banyak terjadi adalah Entertain seks dengan menyediakan wanita penghibur kelas atas.

Tapi nyatanya penyalahgunaan APBD untuk seks tersebut bukanlah seperti itu, tapi memang untuk kebutuhan pribadi si Kepala daerah. Seperti yang dijelaskan Sujanarko, tindakan ini tidak termasuk suap seks. Namun ia bisa masuk penyalahgunaan wewenang karena menggunakan dana dari APBD.

“Itu bukan disogok seks, tapi korupsi untuk main seks,” tandasnya.
Memanglah luar biasa pejabat kita ini dalam memanfaatkan APBD, ada yang untuk memperkaya diri lewat Korupsi, dan ada pula yang menyelahgunakannya untuk kepuasan diri bermain seks. Ini benar-benar prilaku pejabat yang sudah tidak bisa ditolerir. Sayangnya KPK tidak segera membuka Kepala Daerah mana saja yang melakukan penyalahgunaan APBD teraebut.

KPK "Berjudi" Melawan Korupsi

illustrasi : Liputan6.com



Seorang teman baik saya mengomentari kegiatan tulis-menulis saya, dia menganggap apa yang saya lakukan adalah sia-sia. Menulis kritik terhadap pemerintah itu berbahaya. Menurut dia, korupsi itu mana bisa diberantas hanya lewat tulisan. Lembaga resmi sekelas KPK saja kewalahan, apalagi cuma hanya lewat tulisan.

Satu sisi pendapatnya saya benarkan, saya pun punya argumentasi untuk menangkis pendapat dia. Saya katakan kalau lewat tulisan saja korupsi tidak bisa diberantas, apa lagi kalau cuma diam tanpa ada tindakan, korupsi lebih tidak bisa diberantas. 

Dia kaget juga dengan argumentasi saya. “Saya diam bukan berarti tidak melakukan apa-apa, cuma saja saya tidak tahu mau melakukan apa.” Jawabnya.

“Lho kalau gitu lebih baik saya dong, meski cuma berjuang lewat tulisan tapi saya sudah melakukan satu tindakan”

“Tapi tindakanmu itu membahayakan dirimu sendiri dan juga keluargamu ji..contohnyakan sudah banyak”

“Tidak ada satu tindakan
yang tanpa resiko, tinggal bagaimana kita memilih mana yang beresiko besar dan mana yang mempunyai resiko kecil."

“Tapi cara yang kamu lakukan itu mempunyai resiko yang cukup besar ji..”

“Hidup ini seperti Judi..kita tidak pernah tahu kapan kita menang dan kapan kita kalah..atau kita tidak pernah menang sama sekali..itulah perjuangan”

“Jadi KPK itu pun seperti berjudi dalam memberantas Korupsi..dan KPK pun gak tahu apakah akan menang atau tidak..”

“Lain halnya dengan KPK..dia sudah jelas tugasnya dan tahu hukum-hukumnya. KPK itukan dibentuk dengan keputusan Presiden, harusnya kuat dan sangat bisa memberantas korupsi”

“Nah disinilah masalahnya..yang korupsi itu rata-rata aparatur pemerintah, dan orang-orang partai. Korupsi yang terjadi sekarang ini sudah bersipat kolektif dan menggurita..”

“Jadi maksudnya tidak mungkin bisa diberantas..ya gak bisalah, tetap saja harus diberantas tergantung bagaimana komitmen pemberantasan korupsi itu sendiri..”

“Disitu juga masalahnya..pemerintah ini masih setengah-setengah dengan komitmennya..”

“Disinilah letak berjudinya KPK..KPK harus lawan dengan tidak setengah-setengah, menang atau kalah urusan belakang”

“Yakin kalau KPK itu independen..apa KPK bukan bagian dari Pemerintah..”

“Lho kalau semua lembaga sudah kita curigai, lantas siapa lagi dong yang bisa dipercaya untuk memberantas korupsi..negara ini sudah dianggap gagal lho..”

“Yah gak tahulah saya juga udah gak bisa mikir..sebagai teman saya cuma mau mengingatkan aja..hati-hatilah dalam bertindak..kadang kita gak tahu mana lawan dan mana kawan..”

“Kamu lawan atau kawan saya nih..soalnya dalam sebuah revolusi yang digambar film lewat Jam Malam, juga seperti itu. Dalam perjuangan terlihat semua seperti kawan, tapi setelah revolusi usai, semua pun menjadi ketahuan..”

Teman saya tersebut dia tidak bisa lagi melanjutkan pembicaraannya, dan dia pun langsung ngeloyor pergi. Saya mencoba merenungkan kembali semua ucapannya. Tapi bagi saya tetap saja, menulis itu adalah cara saya berjihad, apakah ada hasilnya atau tidak wallahu’alam.

"Gratifikasi Sex" itu Lazim

Foto : SH News.co



Masalah Gratifikasi Seks menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini, karena pemberian hadiah berupa pelayanan seks ini dianggap susah untuk dijerat secara hukum. Dijaman Politik Transaksional sekarang ini, gratifikasi Seks juga dijadikan alat transaksi politik, bisa jadi hal ini yang membuat Politisi Demokrat dari Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika menganggap gratifikasi seks itu adalah sesuatu yang lazim sejak jaman kerajaan.

Mungkin benar apa yang dikatakan Pasek, tapi sesuatu yang lazim tersebut bukanlah berarti harus dilegalkan. Sebagai politisi yang duduk di Komisi Hukum DPR RI, seharusnya turut memberikan kontribusi pemikiran, pasal hukum seperti apa yang patut diterapkan untuk menjerat gratifikasi seks ini, bukan sekedar mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontrovesi tapi tidak memberikan solusi.

Seperti yang diberitakan Merdeka.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks. Pengkajian gratifikasi seks itu merujuk pada konvensi internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Itu artinya kita sendiri secara hukum belum menyiapkan Undang-undang tentang gratifikasi ini, nah inilah yang seharusnya menjadi tugas para penyelenggara negara.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku banyak menerima laporan mengenai gratifikasi seksual. Sampai sekarang menurut Mahfud, UU tentang Gratifikasi ini terus dirumuskan. Namun sayangnya Gede Pasek, yang notabene adalah orang yang duduk di Komisi Hukum DPR RI menganggap usulan KPK yang meminta gratifikasi seks dimasukkan dalam Undang-undang sebagai upaya berlebihan.

“Kalau diatur secara khusus, berlebihan. Kalau gratifikasi susah, ini membingungkan,” ujarnya.(Merdeka.com)

Tidak ada yang berlebihan kalau Gratifikasi seks itu dibuat payung hukumnya, karena gratifikasi seks itu adalah bagian dari transaksi suap bagi penjabat yang menyalahgunakan jabatan, dan bukanlah sesuatu yang sulit jika memang ada keinginan yang serius untuk memberantasnya. Atau jangan-jangan memang Gede Pasek sendiri sudah sering menggunakan gratifikasi seks itu dalam politiknya, sehingga dia menganggap sesuatu yang lazim dan perlu dilegalkan.

Sumber berita :
http://m.merdeka.com/peristiwa/gratifikasi-seks-nikmat-tapi-tak-bisa-dijerat.html

foto : SH News.co

Diskrimasi "Perlakuan Hukum" karena Politik




Terlihat sangat jelas kalau Penegakan Hukum di negara ini bersifat diskriminatif, perbedaan perlakuan terhadap tersangka atau pun terdakwa sangat menyolok sekali. Lihat saja Foto illustrasi diatas, tersangka korupsi, Bupati Buol Batalipu dengan cepat dan sangat mudah ditangkap, dan cara perlakuannya pun sangat berbeda dengan tersangka korupsi sekelas, Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, angelina Sondakh dan juga Miranda Gultom.

Tidak butuh waktu yang lama untuk memproses hukum kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Buol ini, karena Amran Batalipu “Bukanlah Orang Terkenal,” dan bukan pula merupakan orang yang dekat dengan kekuasaan, dan jelas berbeda dengan nama-nama tersebut diatas, dan kapasitas kasusnya juga sangat berbeda, maka cara memperlakukannya dan pengusutan kasusnya pun jelas berbeda.

Berapa lama KPK butuh waktu untuk mengusut kasus Wisma Atlet dan Hambalang ? Yang sampai sekarang tidak pernah jelas juntrungannya, sementara kasus Bupati Buol ini, belum berapa lama diekspos media, dan KPK bisa langsung menetapkan tersangka. Pada kasus Buol ini pun ada menyangkut orang yang dekat dengan RI 1, dan saya yakin kasusnya tidak akan berkembang sampai kesitu.

Apa yang sedang diproses KPK sekarang ini belumlah menyentuh apa yang sesungguhnya diharapkan, kasus Hambalang sudah mulai disebut-sebut akan terganjal pada sulitnya mencari alat bukti. Ini sebuah tanda-tanda kasus ini tidak akan tuntas pengusutannya, padahal secara kronologis kalau kita amati dari berbagai pemberitaan media sudah jelas siapa yang layak dijadikan Tersangka, tapi pengusutan kasusnya selalu ditunda-tunda. penundaan ini akan berakibat pada semakin menghilangnya berbagai alat bukti yang dibutuhkan untuk penyidikan.

Hal seperti ini sudah sangat telanjang kita lihat didepan mata, bahwa hukum di negara ini sangat diskriminatif, pejabat negara kelas teri akan sangat mudah ditangkap, begitu juga orang yang tidak terkenal, tapi lain halnya jika calon terdakwa adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan dan kasusunya pun agak menyerempet penguasa, maka pengusutan kasusnya dengan berbagai cara akan ditunda-tunda. Kesulitan mencari alat bukti selalu dijadikan alasan untuk menunda-nunda pengusutan, sementara barang bukti yang ada pun sudah bisa dihilangkan jejaknya.

Yusril menang Telak atas Pemerintahan SBY




Kurang cermatnya Staf Ahli Hukum yang ada dilingkungan Pemerintahan SBY membuat banyak celah kelemahan yang mudah digugat. Terlebih dalam penerapan Keppres yang banyak bertentangan dengan Konstitusi yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Mestinya hal seperti ini tidak terjadi, kalau saja orang-orang disekitar Presiden SBY yang mengerti dan faham tentang konstitusi dan amanat Undang-undang  tidak sekedar Asal Bapak Senang (ABS), mau mencermati dan mengkritisi sesuatu yang bertentangan dengan Konstitusi.

Tercatat ada 6 Kemenagan Yusril atas Pemerintah, dan semuanya menyangkut Konstitusi. Pemerintahan SBY bukan tidak memiliki Pakar Hukum Tata Negara, h anya saja pakar hukum tata negara yang ada tidak mumpuni dan masih belum terlalu berpengalaman, sehingga dengan mudah “Dikuliti” Yusril.

6 Kemenangan Yusril atas Pemerintahan SBY

22 Sepetember 2011
Sebagaimana pernah kita ketahui, Jaksa Agung Hendarman Soepandji dicopot dari jabatannya, karena Yusril menggugat keabsahannya. Yusril menganggap tak ada surat keputusan pengangkatannya kemabli dari Presiden. MK mengabulkan gugatan tersebut dan akhirnya Hendarman Soepandji diberhentikan SBY pada 24 Sepetember 2011.

8 Agustus 2011
Yusril mengajukan permohonan pada MK agar mengahadirkan Megawati dan SBY sebagai saksi yang meringankan dirinya dalam kasus Sisminbakum. MK mengabulkan permohonanan tersebut dan Kejaksaan Agung diperintahkan menghadirkan SBY dan Megawati untuk dimintai keterangan.

7 Maret 2012
Yusril menang di PTUN Jakarta. SK Menkum dan HAM 16 Nopember 2011 No M.HH.PK.01.05.04 Tahun 2011 tentang pengetatan remisi terhadap napi tindak luar biasa korupsi dan terorisme. Sebagai kuasa hukum napi koruptor cek pelawat menganggap SK tersebut tidak sesuai prosedur hukum, sehingga akhirnya dibatalkan PTUN.

14 Mei 2012
Yusril sebagai Kuasa Hukum Agusrin M Najamuddin, menggungat  Keppres No 48 Tahun 2012 tentang pengangkatan Junaidi Hamsyah sebagai gubernur Bengkulu dan pencopotan Agusrin. Sesuai amanat Konstitusi Yusril menganggap Agusrin tidak bisa dicopot, karena tidak sesuai dengan konstitusi. Yusril menang di PTUN dan PTUN akhirnya membatalkan Keppres tersebut dan Agusrin pun batal dicopot dan Junaidi batal menjadi Gubernur Bengkul.

31 Mei 2012
Yusril bebas dari Kasus Sisminbakum, Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3, sehingga Yusril tak lagi menjadi tersangka kasus Sisminbakum.

5 Juni 2012
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagaian permohonan judicial reviewmengenai materi UU kementerian Negara dan Keppres tentang pengangkatan Wakil Menteri (Wamen). Dalam hal ini Yusril hanya bertindak sebagai saksi ahli yang menentang Wamen. Sementara sebagai penggugat adalah Keta Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) Adi warman dan Sekjen GN-PK H.Tb.Imamudin.

6 Kemenangan Yusril atas pemerintah tersebut diatas menandakan bahwa Pemerintahan SBY kurang cermat dalam menjalankan amanat Konstitusi, dan tidak adanya orang yang benar-benar kredible yang mengawasi penerapan UU yang terkait penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga celah kelemahan tersebut menjadi sasaran Yusril untuk menguliti Pemerintahan SBY.

Ketika periode pertama Pemerintahan SBY, kita tahu Yusril adalah salah satu Menteri di kabinet Indonesia Bersatu, dan semua berjalan aman-aman saja. Tapi ditengah perjalanan pemerintahan SBY, Yusril kelar dari pemerintahan SBY, sebagai Pakar Hukum kini Yusril berprofesi sebagai pengacara. Dengan profesi barunya ini Yusril banyak melayangkan gugatan terhadap pemerintahan SBY. Masih ada 2 Gugatan yang akan dilayang Yusril, antara lain masalah pemberian Grasi terhadap Corby.

Sumber tulisan : Harian Berita Kota Rabu, 6 juni 2012

Mundur dari Jabatan Itu Pilihan..



Menteri memang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, secara konstitusi memanglah demikian, tapi kalau mengundurkan diri dari jabatan bukanlah tindakan yang inkonstitusional. Masalahnya banyak pejabat negara yang sedang bermasalah enggan untuk mengundurkan diri sebelum diberhentikan oleh Presiden, karena dengan mengundurkan diri itu berarti secara tidak langsung mengakui kesalahan. Inilah dilema yang sedang dihadapi Menpora Andi Malarangeng.

Mundur dari jabatan kalau atas dasar niat menjaga nama baik, sangat mungkin akan menjadi sebuah pilihan yang tepat, sekali pun pada akhirnya akan tetap dihujat. Terlepas dari salah atau benar, buat apa merasa benar kalau pada akhirnya fakta mengungkapkan memang bersalah, mungkin lebih baik dituduh bersalah tapi pada kenyataannya dalam posisi benar, maka mundur akan lebih terhormat.

Menjawab berbagai desakan berbagai pihak, agar dirinya mundur dari jabatan, terkait berbagai kasus yang sedang dihadapinya, Menpora Andi Malarangeng mengatakan :


 "Saya rasa kita tahu bahwa menteri diangkat dan diturunkan Presiden. Kalau memang Presiden menganggap kinerja saya tak maksimal maka saya siap," kata Andi Mallarangeng usai membuka acara Rakornas KNPI di Hotel Santika, Medan, Jumat malam.


Sudah jelas Menteri Andi tidak akan mundur kalau tidak Presiden yang menurunkannya dari Jabatan, dalih ini cukup kuat bagi Andi untuk tetap bertahan, dan Andi sangat tahu bahwa Presiden SBY tidak akan mungkin memberhentikannya. Kalau sampai Preisden SBY pun pada akhirnya memberhentikan Andi Malarangeng dari jabatan Menpora, itu artinya Presiden SBY sudah menjalankan amanat konstitusi dengan sebenarnya, dan Andi pun harus legowo menerima keputusan tersebut.


Mungkin mundur dari jabatan belumlah menjadi tradisi dinegara ini, padahal dinegara-negara lain mundur dari jabatan dianggap sebagai tindakan yang terhormat demi menjaga martabat. Mundur dari jabatan itu pada dasarnya adalah pilihan, dan bukanlah karena paksaan, tapi kalau baru mundur setelah didesak dan karena paksaan, maka tindakan mundur dari jabatan akan menjadi celaan.


Sumber berita :
http://politik.vivanews.com/news/read/320087-menteri-andi-siap-mundur-bila-diperintah-sby

Foto : Vivanews.com



Memaknai 30 Juz Diatas Kepala



Angkat Sumpah, yang sering dilakukan pada ceremonial pengangkatan pejabat baru, baik Pejabat untuk level Kabupaten, Propinsi maupun Pejabat Kabinet dan lain sebagainya. Pada umumnya akan dilakukan semacam Sumpah Jabatan, khususnya pejabat yang beragama Islam ketika angkat sumpah ini, akan diletakkan kitab suci Al Qur’an sedikit diatas kepalanya.Artinya disumpah dibawah kitab suci tersebut.

Maknanya adalah sama halnya dengan bersumpah Atas nama Allah dan kitab sucinya.Bagi yang mengerti makna bersumpah tersebut, tidaklah akan berani melanggarnya dan akan berusaha untuk amanah terhadap tanggung jawab yang dipikulkan. Tapi lain halnya sekarang ini, ceremonial sumpah seperti tersebut diatas hanya dianggap sebagai ritual biasa yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab yang diamanatkan.

Maka kita tidak heran kalau banyak pemimpin sekarang ini yang tidak amanah, karena tidak mendapatkan Ridho-Nya.Bagi yang mengerti, bahwa bersumpah dibawah Al Qur’an tersebut, adalah manifestasi dari kebersediaan menerima tanggung jawab dengan bersaksi kepada Allah Swt dan kitab sucinya. Sumpah seperti ini sering juga dilakukan, khusus bagi seorang saksi. Sebelum memberikan kesaksian, seorang saksi harus disumpah terlebih dahulu dibawah Al Qur’an (saksi muslim).

Dalam kasus-kasus yang penuh rekayasa, kadang kala seorang saksi dalam memberikan kesaksian, berani mengabaikannya. Sekalipun memberikan kesaksian palsu tapi tetap berani disumpah dibawah Al Qur’an. Ini semua dikarenakan lemahnya keimanan seseorang terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Begitulah ketika sebuah sumpah hanya dianggap sebagai ritual belaka.

Seorang Susno Duadji pernah diminta menjadi saksi ahli dalam kasus Antasari Azhar, dengan lantang dia beberkan semua apa yang dia ketahui, sehingga saat itu membuat berang institusi Polri, bahkan beliau dianggap berkhianat pada institusinya. Tapi beliau punya argumentasi :“Seorang saksi itu harus membawa kemaslahatan bagi orang banyak. Sebelum bersaksi saya kan harus mengatakan,”Demi Allah Saya Bersumpah” jadi ini adalah asma Allah yang saya bawa.

Jangan main-main, 30 Juz lho diatas kepala saya” demikian yang dikatakannya**Seorang yang bersaksi palsu, hukumnya dunia. Tapi kalau sudah mengucapkan Demi Allah, tidak ketahuan di dunia tapi Allah maha Mengetahui, dan sudah bersumpah karena Allah, maka akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah pula.Begitulah beratnya tanggung jawab dibawah Al Qur’an dan Atas nama Allah. Mudah untuk diucapkan, namun berat dalam pertanggung jawaban.

**Saya kutif dari buku :”Bukan Testimoni Susno”Karangan : IzHarry Agusjaya Moenzier.
Foto : Google/Transaktual images

Hukum Yang Tajam Kebawah



Siapa sebetulnya yang paling berhak menegakkan hukum dinegera ini ? kalau mau dibilang aparat penegak hukum, nyatanya tidak juga, karena ketika mereka berhadapan dengan terdakwa yang nota bene pejabat negara mereka pun tidak berdaya, lantas siapa, apakah Presiden sebagai pemegang otoritas kekuasaan eksekutif, bukankah wewenang tersebut merupakan otoritas lembaga Yudikatif ? Inilah kerancuan yang tidak pernah terselesaikan, dan selalu menjadi pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Kalau pun jelas siapa penanggung jawabnya, namun tetap saja tidak jelas dalam penerapannya.

Kenyataan pada penerapannya, hukum masih tajam kebawah, hukum hanya tegak untuk masyarakat kelas bawah, hanya bagi masyarakat yang tidak mengenal hukum dan politik. Untuk masyarakat kalangan atas dan pejabat pemerintah hukum menjadi tumpul, terlebih ketika hukum sudah diseret-seret keranah politik, hukum tidak berdaya dan aparat hukum pun melepaskan tanggung jawabnya. Kalau pun ada proses hukum hanya untuk mengelabui masyarakat saja.

Diskriminasi penerapan hukum ini sekarang semakin terlihat nyata, bagi yang memiliki jabatan, kekuasaan dan uang, menghadapi persoalan hukum bukan lagi menjadi masalah, karena semua bisa diselesaikan diatas meja persidangan, bukan lagi dibawah meja seperti halnya pada masa-masa sebelumnya, tapi bagi yang tidak memiliki semua itu harus siap pasang badan untuk menghadapi kurungan.

Apakh memang seperti itu hukum diterapkan, padahal tidaklah seperti itu seharusnya. Didepan hukum semua memiliki hak yang sama, seperti itulah yang sering banyak orang ucapkan tapi sangat berbeda dengan apa yang diterapkan, apa yang salah dengan semua ini, apa karena ketegasan pemimpin yang tidak ada atau memang hukum hanya menjadi alat permainan yang berkuasa saja. Seorang pakar hukum pernah mengatakan : "Hukum adalah Kekuasaan itu sendiri," apakah memang seperti itu terjemahan hukum yang sebenarnya ?

Penulis akan memberikan beberapa catatan mengenai cacatnya penegakan hukum di Indonesia, penulis tidak memberikan illustrasi kasus hukum yang menyangkut Kasus Tindak Pidana Korupsi dan penyuapan, karena kalau kasus seperti ini sudah tidak aneh lagi, karena hukum memang tidak berdaya dan penuh dengan sandiwara. Penulis hanya memberikan illustrasi tentang beberapa kasus kecil namun sangat mengganggu rasa keadilan.

Pertama : Kasus pembunuhan Kelasi Arifin, tanpa kesulitan yang sangat berarti polisi berhasil menangkap kelima pelaku pembunuh kasus Kelasi Arifin, dan proses hukumnya pun segera ditindaklanjuti. begitu mudah aparat kepolisian menangkap pelaku kejahatan yang dilakukan masyarakat biasa, tapi sebaliknya, aksi balas dendam dari kasus ini yang dilakukan Geng Motor Pita Kuning, yang disangkal bukanlah aksi balas demdam pembunuhan Kelasi Arifin, dan Geng Motor tersebut bukanlah anggota TNI, tapi diakui ada anggota TNI yang ikut dalam konvoi. Pada kenyataannya aksi geng motor ini sudah merenggut nyawa Anggi Darmawan, siapa yang membunuh Anggi ? polisi tidak bisa mengungkapkan, sementara anggota TNI yang diduga terlibat hanya dikenakan sanksi disiplin, disini nyata sekali ada diskriminasi penegakan dan penerapan hukum.

Kedua : Kasus Video Porno Anggota DPR Kasus yang serupa pernah dialami oleh Ariel Peterpan ini, sebelumnya pernah dialami oleh seorang Anggota DPR Yahya Zaini dan pedangdung Maria Eva, dan sekarang terjadi lagi, seperti yang diduga Anggota DPR yang berinisial KMN terlibat dalam video mesum seperti yang dilakukan Ariel dan Yahya Zaini. Sperti yang kita ketahui sampai sekarang Ariel masih menerima ganjaran dari perbuatannya tersebut, tapi lain halnya dengan Yahya Zaini dan maria Eva, yahya dan Eva tidak mendapat ganjaran apa-apa, padahal kasusnya sama dengan apa yang dilakukan Ariel. Pada kaus video mesum yang baru-baru ini heboh, yang diduga dilakukan KMN, yang lebih sibuk diselidiki justeru orang mengunggah video tersebut kedunia Maya, bukan menyelidiki siapa yang ada didalam video mesum tersebut sesungguhnya, bukankah ini sangat terkesan diskriminatif.

Beberapa kasus yang remeh lainnya seperti, Anas Urbaningrum yang ketahuan memakai nomor polisi palsu, nyatanya Anas tidak menerima sanksi apa pun atas pelanggaran tersebut, coba kalau masyarakat biasa yang melakukan hal tersebut, tentunya Polisi sudah menagkapnya. Selanjutnya kasus Koboi Palmerah, dimana sorang aparat TNI yang dengan seenaknya mengeluarkan senjata Api ditengah keramaian, karena bertikai dengan seorang warga biasa, pada kenyataannya dikatakan bukan senjata api sungguhan, tapi Air Softgun. Inikan sesuatu yang aneh, begitu mudah dilindungi kalau aparat yang melakukan tindak kejahatan, menjaga nama baik institusi lebih berarti dari pada menegakkan hukum itu sendiri.

Mana semboyan polisi "Melindungi dan Mengayomi Masyarakat" masih seperti itukah tugas polisi sebagai aparat penegak hukum, siapa yang bisa melindungi dan mengayomi masyarakat kalau hukum pun harus dibeli, sementara masyarakat bawah tidak punya kemampuan untuk membeli, lantas kemana mereka harus mengadu dan berlindung dari kejahatan ?

Foto illustrasi : Sepoci Kopi

Kesalahan Fatal DPR dalam Membuat UU Pemda




Ada kesalahan DPR yang sangat fatal dalam membuat pasal Undang-Undang Pemda, kesalahan tersebut menyangkut soal rujukan pasal yang seharusnya merujuk pada pasal 80, tapi dibuat merujuk pada pasal 83, rujukan pasal ini kalau tidak segera direvisi MK, maka para pejabat Negara, Pejabat Struktural, pejabat Fungsional dan Kepala Desa tidak bisa dijerat secara hukum jika melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada.

Apakah kesalahan ini memang merupakan kesengajaan atau hanya sekedar keteledoran para anggota DPR ? Kalau keteledoran rasanya sangat jauh dari kemungkinannya, masak iya Anggota Dewan Terhormat itu bertindak teledor, sementara yang menjadi anggota dewan itu pendidikannya minimal S1, dan banyak juga pakar hukum didalamnya.

Bagaimana tidak dikatakan fatal kalau bunyi pasal 116 ayat 4 UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Dalam pasal tersebut disebutkan sanksi pidana bagi pelanggar pasal 83 tentang perbuatan curang pejabat yang menguntungkan peserta pemilu kada. Sementara itu dalam pasal 83 itu berisi pengaturan dana kampanye. Jelas rujukan pasal ini salah.

Atas kesalahan tersebut maka MK pun membatalkan pasal 116 ayat 4 dan merevisi pasal tersebut.  Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,  membacakan putusannya, di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (1/5/2012).

Kesalahan rujukan pasal ini diketahui oleh Heriyanto yang sehari-harinya sebagai Tim Asistensi Bawaslu, karena sering mendapat keluhan dari Panwaslu di daerah akibat berlakunya Pasal 116 ayat (4) UU Pemda ini. Menurutnya, pasal itu membuat Panwaslu daerah bingung karena sesungguhnya tindak pidana yang dilarang diatur Pasal 80, bukan Pasal 83 UU Pemda. Atas dasar inilah akhirnya Heriyanto memohon pengujian pasal yang salah rujuk itu ke MK.

Kesalahan rujukan pasal ini tentunya sangat fatal kalau tidak segera direvisi, karena dengan penerapan pasal 116 ayat 4 itu para pejabat negara baik yang struktural maupun yang fungsional bisa kebal hukum, karena pasal yang dijadikan rujukannya  isinya tidak sama sekali memberikan sanksi hukum, seperti yang saya kutip dari detiknews :

Pasal 116 ayat 4 lengkapnya berbunyi "Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta".

Jika merujuk pasal 116 ayat 4, maka seharusnya pasal tersebut merujuk ke pasal 80. Sehingga Pasal 116 ayat 4 UU 32/2004 tentang Pemda harus dibaca "Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600 ribu atau paling banyak Rp 6 juta".

Lebih lanjut Mahfud MD juga mengatakan : "Frasa 'sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83' tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai dimaksud dalam Pasal 80'," ujar Mahfud.

Selain kesalahan dalam membuat rujukan pasal, menurut penulis sanksi hukum yang diterapkan dalam pelanggarannya juga tidak membuat efek jera bagi para pejabat pemerintah, apakah hal ini pun sengaja dibuat demikian, sebagai bentuk persekongkolan DPR dengan para pejabat negara, kalaulah seperti ini undang-undang yang diterapkan ya wajar saja banyak sekali pelanggaran ynag terjadi di setiap Pemilukada sekarang ini, karena pasal undang-undang yang diterapkan tidaklah memiliki sanki hukum yang perlu ditakuti.



Peran Wartawan dalam Membongkar Skandal "Watergate"




Kalau mau melihat dan belajar dari upaya membongkar SKANDAL WATERGATE, dimana kasus ini bisa terbongkar berkat kerja keras dua orang wartawan The Washington Post. Dua orang ini hanyalah berprofesi sebagai wartawan, yang tidak mempunyai kewenangan penyelidikan secara hukum, tapi tugas Jurnalistik yang mereka emban, mampu melakukan investigasi mencari data-data yang valid untuk di jadikan bahan penyelidikan Institusi hukum di Negaranya. Mereka berdua ini dibantu juga oleh Biro Penyidik Federal Amerika Serikat, FBI W.Mark Felt pada dekade 1970.

Nah kalau kita melihat kedudukan Pimpinan KPK Busyro Muqqodas dan kawan-kawan, adalah orang-orang pilihan, orang-orang hebat karena hasil test, dan hasil pilihan  Panitia Seleksi (Pansel) yang terdiri dari pakar-pakar pilihan dan hebat-hebat pula, tapi kenapa orang-orang pilihan ini tidak mampu membongkar Kasus Korupsi yang melibatkan Bendaharawan Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Padahal SKANDAL WATERGATE yang berhasil dibongkar oleh Bob Woodward & Carl Bernstein yang "hanya" wartawan The Washington Post, tanpa test tanpa seleksi Pansel segala macam, dan Skandal ini melibatkan orang Nomor satu di Amerika Serikat saat itu, Presiden Richard Nixon, yang berambisi ingin menjadi presiden untuk kedua kalinya, namun dengan terbongkarnya kasus ini, maka dia turun tahta. Maka apa KPK tidak merasa malu jika tidak berhasil membongkar SKANDAL NAZARUDDIN ?

Inilah perbedaannya, apa yang sudah dilakukan oleh kedua wartawan tersebut, hasil investigasinya di tindak lanjuti oleh institusi hukum negara, dan kepala negara yang terlibat tidak bisa intervensi institusi hukum negaranya, sekalipun sebagai Kepala Negara. Kesungguhan KPK dalam menuntaskan kasus-kasus Korupsi yang terjadi di Republik ini, tidaklah bisa terlaksana secara serius, selama KPK tidak independen dan tidak bisa berkordinasi dengan Institusi hukum negara, sehingga posisi KPK terkesan sangat lemah dan kurang berfungsi. Sebagaimana kita ketahui, yang memilih para pemimpin KPK ini atas persetujuan Presiden dan DPR, sementara lembaga lesgilatif dan eksekutif sendiri komitmennya  sangat diragukan dalam pemberantasan korupsi.

Wartawan kita sendiri juga sebetulnya cukup bisa dipercaya untuk melakukan tugas jurnalistik seperti yang di lakukan wartawan Washington Post, masalahnya adakah institusi hukum yang bersedia membantu mereka menindak lanjuti hasil investigasi yang sudah dilakukan wartawan ? Buktinya saja apa yang sudah dilakukan wartawan tempo dalam membongkar Rekening Gendut Polri, tidak ada proses hukum lanjutannya, dan kasus tersebutpun hilang begitu saja.

Sumber tulisan di kutip dari status Facebook, Kamal Firdaus, Advokad Senior yang berdomisili di Yogyakarta.

Buruknya Kinerja Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif Negara Ini



Sebagaimana yang kita ketahui, Tiga Pilar Negara yang berperan sangat penting untuk berdiri dengan kokohnya sebuah negara adalah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Jika tiga pilar ini bersinergidengan baik maka akan kokohlah pondasi pilar sebuah negara, tapi sebaliknya, jika tiga lembaga ini berkonspirasi dalam hal korupsim maka akan runtuhlah negara tersebut.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menilai kondisi Indonesia saat ini, tiga pilar negara ini sudah sama buruknya, semua sudah terlibat dalam korupsi. Sungguh semua ini membuat kita semakin prihatin terhadap masa depan Republik Indonesia yang kita cintai.

Hal tersebut dikatakannya  usai membuka Seminar dan Lokakarya Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Bagi Guru PKN (Pancasila dan Kewarga Negaraan) Tingkat SD, SMP dan SMA/SMK se-Sulawesi Selatan di Makassar, Selasa 31 januari 2012.


“Saya melihat dari konteks bahwa ketiga lembaga tersebut saat ini terjadi korupsi. Dan faktanya itu tidak bisa dibantah,” kata Mahfud MD kepada wartawan.

Memang pada kenyataannya memang demikian, banyak kalangan eksekutif yang tersandung korupsi, begitu juga anggota dewan yang terhormat serta hakim, jaksa juga pengacara yang ditangkap karena kasus korupsi. Kalau sudah begini, kepada siapa lagi kita berharap masa depan bangsa ini, kalau tiga pilar penting ini sudah sama bobroknya.


Kalaulah negara ini kita anggap sebagai sungai, maka kepala pemerintahan itu adalah “Hulu” sungainya, dan aparatur pemerintahan itu adalah “Hilir” sungainya, kalau hulunya bersih maka bersih pula hilirnya, bersih kepala pemerintahannya maka bersih pula aparaturnya. Apakah kondisi yang sedang kita alami sekarang ini Hulunya tidak bersih, sehingga air yang mengalir kehilir pun tidak lagi bersih ?

Dari pertanyaan diatas kita bisa mencari jawaban, dari mana kita harus memulai membersihkan korupsi itu seharusnya, membersih korupsi dimulai dari bawah, maka tidak akan pernah sampai keatas, tapi kalau kita memberantas korupsi dimulai dari atas, maka akan mudah sampai kebawah. Sama halnya dengan membersihkan sampah dialiran sungai, bersih sampah di hulu maka akan bersih sampai ke hilirnya.

Cita-cita Bung Karno dalam mencapai Kemerdekaan Indonesia ini sangat mulia, Kemerdekaan Indonesia itu merupakan Jembatan bagi kemajuan Indonesia selanjutnya, agar Indonesia memiliki kedaulatan yang kuat, agar Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang Mandiri, seperti yang dikatakan dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, saat Lahirnya Pancasila:


“Bahwa kemerdekaa, politike onafhankelijkheid, political independece, tak lain tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. saya katakan bahwa diseberang jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”

Apakah cita-cita Bung karno ini adalah juga cita-cita bangsa Indonesia ? tentu saja cita-cita Bangsa Indonesia pada umumnya, apakah cita-cita itu sudah tercapai ? hanya kitalah yang bisa menjawabnya.
Referensi tulisan :

http://nasional.vivanews.com/news/read/280745-mk-tolak-permohonan-4-perusahaan-perikanan
Buku “Bung Karno vs Kartosuwiryo, Membongkar Sumber Dana DI/TII, ditulis oleh Roso Daras.

Kenapa SBY Harus Marah


Soal buruknya prilaku penonton distadion senayan pada pertandingan Indonesia vs Bahrain, semestinya SBY tidak perlu marah, itulah cerminan masyarakat yang dipimpinnya. Seperti pepatah mengatakan, ” Buruk rupa cermin dibelah.” Rakyat itu bagaimana pemimpinnya, buruk rupa pemimpinnya, buruk pula prilaku rakyatnya. Kenapa harus marah melihat prilaku yang salah, coba instropeksi apa ada yang salah dalam kepemimpinannya, apa ada yang sudah berubah dari rakyat yang dipimpinnya.

Seperti yang diberitakan Kompas.com, Presiden langsung berdiri saat melihat ada penonton di tribun seberang tempatnya menonton yang melemparkan botol kemasan air minum ke dalam lapangan. Sontak wajah Presiden marah dan menunjuk ke arah tribun penonton tersebut sambil berlalu meninggalkan tribun. Reaksi seperti ini seharusnya tidak perlu ada, dikanan kiri Presiden ada ada aparat keamanan bahkan ada Kapolri, dan Kpaolri pun mestinya cepat tanggap terhadap reaksi Presiden tersebut.

Akibat dari semua peristiwa tersebut, Presiden berdiri, polisi dan Paspampres langsung keluar lapangan dan mengawal Presiden meninggalkan Stadion Utama Gelora Bung Karno. Semua anggota rombongan yang menyertai Presiden turut pulang, seperti Ibu Negara Ani Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono, Mendiknas Muhammad Nuh, dan beberapa pejabat lainnya.

Sungguh ini sebuah reaksi yang sangat emosional dari seorang Pemimpin Negara, hanya karena kecerobohan aparat keamanan yang tidak mampu mengantisipasi keadaan. Prilaku suporter tersebut sepenuhnya tidak bisa disalahkan, karena hal tersebut tidak akan terjadi kalau saja keadaan disekitar stadion tersebut kondusif.

Sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa ini, masih banyak event besar pertandingan sepakbola yang akan dihadapi. Kita masih harus belajar menjadi bangsa yang beradab, yang bisa menghargai sportivitas pertandingan, menjadi penonton yang tertib. Karena sebagai Bangsa yang besar, ternyata kita belum sebesar apa yang kita harapkan, kita belum menjadi Bangsa yang besar secara intlektual dan prilaku. Sebagai tuan rumah, Kita masih harus belajar bagaimana menghargai tamu.

Padahal selama ini kita melihat kebesaran jiwa seorang SBY, di hujat kanan- kiri oleh masyarakatnya, namun beliau tidak pernah menunjukkan reaksi kemarahan dan kebenciannya, bisa sabar menghadapi buruknya penegakan hukum para aparat yang dipimpinnya, dan lambannya pemberantasan korupsi yang menjadi komitmennya, kok lantas SBY marah melihat prilaku buruk suporter sepakbola, sebagai Bapak dan Pemipin Negara, seharusnya SBY mampu menahan diri untuk tidak marah dan meninggalkan Timnas yang sedang berlaga serta ribuan rakyatnya yang sedang mendukung Timnas Indonesia. Lagi-lagi kesabaran seorang SBY terus di Uji.

Siapa yang Bisa Membebaskan Antasari?


Siapa yang bisa membongkar kasus Antasari, kalau kasus tersebut adalah sebuah konspirasi ? Bagaimana mungkin Polri bisa membongkar, kalau polri sendiri bisa diduga bagian dari konspirasi. Inilah kejahatan bersama aparatur penegak hukum dan penguasa yang merasa akan dirugikan oleh sepak terjang Antasari, sekalipun kasus ini seperti terang benderang namun sulit dibuktikan. Sebuah kejahatan yang sudah direncanakan secara matang oleh pihak-pihak yang dengan sengaja merekayasanya, agar Antasari bisa dijerat secara hukum. Secara eksplisit Antasari bisa mengira bahwa kasus yang dihadapinya adalah rekayasa, tapi dia sendiri bingung untuk membuktikannya.

Seperti diberitakan Kompas.com, Antasari sebagai terpidana Memohon peninjauan kembali perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Antasari Azhar menilai perkara pembunuhan yang dihadapinya terkait dengan kasus-kasus korupsi yang ditangani waktu itu. Antazari juga mengatakan, ia bukan pembunuh atau orang yang menyuruh membunuh orang lain.

Seperti yang diungkapkan Antasari Azhar dalam jumpa pers usai sidang permohonan PK di PN Jakarta Selatan, Selasa (6/9/2011). “Kalau saya bukan Ketua KPK waktu itu yang gencar melakukan pemberantasan korupsi, berapa kasus korupsi, apakah saya akan mengalami kasus seperti ini,” tanya Antasari.

Dari ucapan Antasari diatas sudah sangat jelas, ada kekuatan yang kuat merekayasa kasus tersebut sehingga dia bisa dipenjara, semua karena posisinya sebagai Ketua KPK yang sangat getol memberantas Korupsi, padahal seharusnya dia mendapat dukungan penuh dari Presiden SBY yang berkomitmen memberantas korupsi.

Lantas kalau memang kasus tersebut adalah hasil dari sebuah rekayasa, untuk kepentingan apa dan kepentingan siapa kasus tersebut direkayasa, kenapa Antasari harus dihabisi dengan cara yang demikian. Tentunya masing-masing kita sudah bisa mengira-ngira untuk siapa dan kepentingan siapanya, namun tetap saja kita tidak bisa membuktikan, begitulah setiap kasus yang kita ketahui, sekalipun bisa terlihat secara terang benderang tetap saja kita tidak berani mengungkapkan, karena kita sudah tahu seperti apa penegakan hukum di negara ini, pasal pencemaran nama baik saja sudah bisa menjerat kita masuk keterali besi.

Sekalipun Antasari tidak menyebutkan secara eksplisit apakah dugaan kasus penyalahgunaan IT KPU yang ditangani KPK waktu itu, menjadi salah satu penyebab munculnya kasus pembunuhan yang melibatkan Antasari, namun bisa diduga memang karena menyerempet kasus inilah yang menyebabkan akhirnya dia harus dihabisi, kasus ini sudah menjadi rahasia umum melibatkan siapa saja, sehingga harus segera diredam dengan cara merekayasa kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang menyeret Antasari menjadi terpidana.

Semua terang benderang, tapi siapa yang berani dan siap menjadi pahlawan untuk membongkar kasus ini, sementara Antasari sendiri mengaku serba salah menghadapi kasus tersebut, seperti yang dikatakannya pada Kompas.com:

“Kalau saya jawab, ya, Anda harus buktikan. Kalau jawab tidak, mengapa saya harus jadi terpidana,” tutur Antazari. Ia menambahkan, kasus dugaan pesan singkat gelap yang telah dilaporkan ke Polri dapat menjadi pintu masuk membongkar kasus pembunuhan yang melibatkan Antasari saat ini. Lantas siapa yang melakukan penyelidikan, Polri kah..KPK kah ? Saya sangat pesimis kasus ini akan terbongkar, karena tidak mungkin Jeruk Makan Jeruk.

Kontroversi Seputar Kasus Hukum Syaipul Jamil


Kontroversi penerapan hukum pada kasus lalainya Syaiful Jamil masih terus menjadi perdebatan di media, keadillan dimuka hukum dan keadilan dalam pandangan publik menjadi berbeda ketika penerapan hukum/undang-undang yang berlaku diterapkan pada moment yang kurang tepat. Memang tidak ada bedanya Syaiful Jamil yang artis dengan masyarakat biasa didepan hukum, hukum berlaku bagi siapa saja warga negara Republik Indonesia, namun hukum terasa tidak adil penerapannya ketika ada kasus hukum lain yang tidak diterapkan dengan semestinya.

Seperti yang dikatakan Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai penetapan tersangka terhadap penyanyi dangdut Saipul Jamil yang mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan kematian istrinya, adalah bukti carut marutnya penegakan hukum di Indonesia. “Saya melihat wajah hukum semakin carut-marut. Hanya dalam waktu satu hingga dua hari kepolisian menetapkan Saipul menjadi tersangka,” ucap Pram panggilan akrabnya saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/9)

Sangat terlalu tergesa-gesa Polri menetapkan Syaiful Jamil sebagai tersangka, sementara dia masih dalam suasana berduka, sehingga persepsi masyarakat terhadap penerapan hukum menjadi salah, padahal memang sudah semestinya Syaiful Jamil ditetapkan sebagai tersangka, hanya saja dalam waktu yang tidak tepat penetapan tersebut dianggap tidak tepat. Pram mengatakan kasus Saipul Jamil jika dilihat secara hukum prosedural, ia memang bersalah. Namun, seharusnya proses penegakan hukum itu memiliki pertimbangan lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menangani kasus mantan suami Dewi Perssik itu.

“Kalau mau diterapkan undang-undang yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, saya yakin korbannya menjadi ribuan bahkan sebenarnya kalau mau secara sungguh-sungguh orang yang membuat infrastruktur pun bisa dituntut untuk bertanggung jawab,” tuturnya. Apakah penafsiran terhadap undnag-undang tersebut sudah benar, atau ada penafsiran lain terhadapa kata Lalai dalam Pasal Undang-undang tersebut, misalnya Lalai yang dimaksud, lalai karena mengemudi hingga menyebabkan orang lain jadi korban, jadi korban disini maksudnya tertabrak hingga meninggal. Jadi bukan jadi korban karena ada dalam kendaraan yang sama saat kecelakaan seperti yang dialami istri Syaiful Jamil.

Jadi, seperti yang dikatakan Pramono Anung Syaipul sangat jelas melakukan ketidaksengajaan dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian istrinya. “Dan yang terpenting dia sedang berduka. Istrinya kan meninggal,” pungkasnya. Dengan keadaan seperti itu ada baiknya polisi menunggu waktu yangbtepat terlebih dahulu, setelah itu barulah memberikan penetapan sebagai tersangka. Jadi kesimpulannya penerapan hukuman kepada Syaipul Jamil itu pada dasarnya tidaklah salah, hanya saja waktu penetapannya yang kurang tepat, bukan pasal hukumnya yang tidak tepat diterapkan.

Sumber dikutip dari berbagai media baik online maupun cetak.