Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan

Islam Dimata WS Rendra

biografi,profile blogspot.com


“Jika ada agama yang sanggup memberikan kepuasan intelektual dan spiritual kepada saya, agama itu adalah agama Islam. Saya berani mengatakan demikian karena saya punya pengalaman memeluk banyak agama dan bahkan pernah tidak beragama, dalam pengertian hanya percaya pada adanya Tuhan Yang Mahakuasa!” ujar penyair Rendra, Senin malam (17/9) membuka percakapannya dengan penulis di Hotel Setiabudi, Jln. Setiabudhi Bandung.

 Malam itu Rendra yang terlahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra tampak berseri-seri, sehat, dan awet muda. Daya humornya cukup tinggi. Ia datang ke Bandung atas undangan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung bekerja sama dengan HU Pikiran Rakyat Bandung untuk sebuah acara diskusi dan baca puisi, yang digelar Selasa pagi (18/9) di universitas tersebut.

 “Islam itu agama yang sempurna. Secara teologis kepuasaan saya terhadap agama Islam itu; saya temukan dalam surah Al-Ikhlas. Apa sebab saya berkata demikian? Sebab hanya agama Islamlah yang dengan tegas mengatakan bahwa Allah SWT itu Maha Esa tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Alasan lain bagi saya, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantui saya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, seperti yang disampaikan Al Qur’an yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

 Keyakinan saya tentang ini tidak bisa ditawar lagi. Saya ikhlas memeluk agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Saya bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, rahmat, dan karunia-Nya kepada saya untuk memeluk agama Islam,” tutur Rendra, yang pada bulan Oktober 2007 mendatang bakal menerima gelar doktor honoris causa (HC) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta untuk bidang sastra.

 Menyinggung soal sastra, dalam hal ini kesusastraan, Rendra mengatakan bahwa kesusastraan adalah ekspresi yang mengungkapkan rahasia liku-liku pikiran, batin, dan naluri manusia. Sejak Solon berkuasa di Athena, beberapa abad sebelum Tarikh Masehi, orang Yunani purba menganggap bahwa menguasai pemahaman kesusastraan berarti memiliki keunggulan pemahaman manusia di dalam percaturan kepentingan dengan bangsa-bangsa lain.

 “Kesadaran pendidikan bangsa seperti itu diadopsi oleh orang-orang Romawi dan seterusnya oleh orang-orang Eropa di zaman awal pembentukan kerajaan-kerajaan di Eropa. Bahkan, sampai saat ini dalam sistem pendidikan Liberal Arts di dunia Anglo Saxon, kesusastraan menjadi inti mata pelajaran,” jelas penulis lakon “Panembahan Reso,” sebuah lakon drama yang berbicara tentang suksesi kekuasaan. Lakon ini pada zaman Orde Baru nyaris tidak mendapat izin untuk dipentaskan, karena dinilai menyinggung kekuasaan Presiden Soeharto, yang tumbang oleh gerakan reformasi pada tahun 1998 lalu.

 Di Tiongkok, kata Rendra lebih lanjut, sejak zaman dinasti Han di abad kedua sebelum Tarikh Masehi, kesusastraan menjadi sumber pengetahuan bangsa yang utama. Recruitment untuk birokrasi kerajaan diselenggarakan melewati ujian pengetahuan para calon dalam bidang kesusastraan. Kemudian tradisi ini diadopsi oleh Jepang dan Korea sejak zaman purba.

 “Nah, bangsa-bangsa yang mengalami pendidikan kesusasteraan di dalam pendidikan formal dan elementer, ternyata selalu unggul di dalam percaturan kepentingan di dunia. Bangsa kita memang sudah mampu melahirkan karya sastra tulis yang unggul sejak abad ke-10 Masehi. Berarti lebih dulu dari beberapa bangsa di Eropa. Sayangnya, pendekatan pemahaman ilmiah-analitis terhadap karya-karya kesusastraan terlambat dikenal oleh bangsa kita. Sedangkan transfer budaya pemahaman karya sastra secara modern itu terbata-bata, karena sistem penjajahan." 

Bangsa kita dijajah oleh pemerintah Hindia Belanda yang tidak peduli mendirikan pendidikan tinggi untuk ilmu sastra. Apa sebab? Karena mereka takut bangsa yang tengah dijajahnya itu menjadi bangsa yang pintar dalam berbagai bidang kehidupan,” jelas Rendra yang pada 1964-1967 tinggal di Amerika Serikat untuk belajar di American Academy of Dramatical Arts di New York, sebuah sekolah drama terkenal hingga kini.

 Sepulangnya dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Kelompok teater yang dikelolanya ini menjadi terkenal di Indonesia dan bahkan ke mancanegara, karena apa yang dikreasinya pada saat itu memunculkan idiom-idiom baru seperti yang diperlihatkannya dalam pertunjukan teater “Bip-Bop” yang menggemparkan di awal tahun 1970-an. Di bawah ini petikan percakapan “PR” dengan Rendra, baik mengenai ketertarikannya terhadap agama Islam, sastra, maupun pendidikan seni.

Selain itu, saat ini ia telah menyiapkan kumpulan puisi terbarunya yang diberi judul “Penabur Benih”. Sejak kapan Anda tertarik dengan agama Islam? Sejak saya belajar drama di Amerika Serikat. Saya mengenal agama Islam pada awalnya dari leaflet yang dibagi-bagikan oleh orang-orang black Moslem. Saat itu saya baca surah Al-Ikhlas yang menggetarkan hati saya secara teologis. Iman saya terguncang saat membaca surah tersebut. Kegelisahan saya memuncak apalagi setelah saya membaca surah lainnya seperti surah Al-Ma’un. Surah Al-Ma’un? Ya. Surah ini sungguh luar biasa, tidak hanya mengungkap soal hubungan manusia dengan Tuhannya yang diekspresikan dalam ibadah salat, tetapi juga berbicara soal pentingnya memerhatikan anak-anak yatim dan orang miskin.

Orang yang salat pun akan celaka bukan hanya karena ia lalai dengan salatnya, tetapi juga karena ia menghardik anak yatim dan melupakan orang-orang miskin. Dalam konteks yang demikian itu manusia tidak hanya membangun hubungan dirinya dengan Tuhannya, tetapi juga dengan sesama manusia. 

Tentu saja surah-surah yang saya baca itu bukan dalam huruf Arab, tetapi dalam terjemahan bahasa Inggris. Dengan adanya keyakinan bahwa Allah SWT itu Esa, sebagaimana yang diungkap dalam surah Al-Ikhlas, seketika itu saya meragukan agama yang saya anut dan memang sejak kanak-kanak saya sudah meragukan agama yang saya anut.

Jadi, dengan keraguan semacam itu sesungguhnya saya tidak beragama, namun demikian saya tetap yakin akan adanya Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah yang saya maksud dengan tidak beragama itu, sebelum saya memeluk Islam, meski getarnya sudah mengguncang hati saya. Dalam keadaan kekosongan spiritual itulah saya masih sempat memeluk agama lainnya di luar agama Islam dan Kristen Katolik. Saya pernah memeluk agama Hindu dan Buddha, tetapi batin saya tetap resah, tidak terpuaskan.

 Begitu saya mantap dengan Islam, Alhamdulillah jiwa saya semakin tenang. Dalam konteks inilah saya menemukan kepuasaan baik secara intelektual maupun secara spiritual. Surah lainnya yang menggetarkan Anda ketika di Amerika, surah apa? Surah Al-’Asr, surah ke-103. Dalam surah tersebut kita dihadapkan pada soal pengelolaan waktu. Orang-orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa mengelola waktu dalam hidupnya di jalan kebaikan. Jalan kebaikan saja tidak cukup. Ia ternyata harus beriman, beramal saleh, mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

 Jadi, lewat surah-surah yang saya sebutkan tadi, sekali lagi saya tegaskan bahwa Islam datang kepada saya lewat pemahaman intelektual dan spiritual. Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang saya ajukan selama ini terjawab sudah. Subhanallah, saya tidak menyangka bisa sampai pada kenikmatan hidup seperti sekarang ini.

Sekarang masalahnya adalah tinggal bagaimana saya mengucap rasa syukur saya kepada Allah SWT. Ini persoalan lainnya yang harus saya aktualisasikan. Apakah kegelisahan semacam itu terekspresikan dalam karya sastra yang Anda tulis? Ya. Pengembaraan intelektual dan spiritual yang saya rasakan hingga saya puas dengan agama Islam itu, saya ekspresikan dalam sebuah puisi yang saya beri judul “Suto Mencari Bapa”. Puisi itu merupakan biografi saya.

Dalam larik penutup puisi tersebut saya cantumkan surah Al-Ikhlas. Lepas dari soal agama Islam. Apa yang Anda lihat atas menurunnya minat masyarakat dalam memperdalam seni tradisional di perguruan-perguruan tinggi seni saat ini? Dari sisi ekonomi hal itu sangat mudah kita lihat. Sekolah tinggi seni kita hingga saat ini, diakui atau tidak, belum bisa menghasilkan uang.

Artinya, bila seseorang lulus sekolah teater atau tari, ketika terjun ke lapangan ia belum bisa mendayagunakan apa yang dikuasainya itu bisa jadi uang. Biaya produksi itu lebih besar daripada pendapatan yang dihasilkan dari pementasan. Nah, berkait dengan itu ada baiknya sekolah-sekolah tinggi seni tersebut bila ingin tetap diminati masyarakat — maka pemerintah harus menggratiskan pendidikan seni bagi masyarakat yang meminatinya. Bahkan, kalau mungkin kasih beasiswa hingga melanjutkan ke jenjang lebih tinggi bila orang yang berminat memperdalam pendidikan seni tersebut hingga ke luar negeri.

Bengkel Teater tidak memungut biaya sepeser pun bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu teater di Bengkel Teater. Seharusnya sekolah tinggi seni itu seperti itu. Selain itu, tentu saja dewasa ini tantangan di dunia hiburan cukup beragam, ketat, dan masing-masing memperlihatkan daya pesonanya.

Orang menggeluti seni tradisi dengan demikian harus mampu melahirkan konsep-konsep seni baru sehingga apa yang dikreasinya itu bisa tetap menawarkan daya pesona untuk diapresiasi. Di Jawa misalnya saat ini, apa yang dikreasi oleh Slamet Gendono dengan pertunjukan wayang suket itu, merupakan hasil dari daya kreasi Jawa Baru. Jadi, daya kreatif semacam itulah yang dibutuhkan saat ini agar orang-orang tetap tertarik dengan seni tradisi yang terus memperbarui darinya dari zaman ke zaman. (hidayatullah.com)

Revolusi Indonesia "Belum Selesai"



Lanjutkan Cita-cita Kemerdekaan

Banyak sekali isyarat yang diberikan Bung Karno dari ucapan-ucapannya, bahwa “Revolusi Indonesia belumlah selesai,” perjuangan bangsa ini masih jauh, dan masih banyak rintangan yang akan dihadapi oleh bangsa ini. Ucapan-ucapan ini tentunya berguna untuk memotivasi bangsa Indonesia agar tidak terlena dengan kemerdekaan yang sudah dicapai. Seperti yang pernah beliau ucapkan :

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong. Revolusi Indonesia belum selesai.”

Ada kekuatiran Bung Karno terhadap bangsa ini, yakni tentang kurang percaya dirinya bangsa ini, dan pernyataan itu bukanlah omong kosong. Apa yang pernah dicanangkan beliau tentang Gerakan Berdikari ( Berdiri diatas Kaki Sendiri), adalah sebuah motivasi untuk memandirikan bangsa, melepaskan bangsa ini dari segala ketergantungannya pada bangsa asing. Ada satu Slogan yang sering beliau ucapkan terdengar lucu tapi penuh motivasi untuk membangkitkan semangat, yaitu:

“Malaysia kita ganyang, Inggris kita linggis, dan Amerika kita setrika.”

Kalau kita mengenang kembali ucapan-ucapan yang pernah beliau kemukakan, yang kita baca dari lembaran-lembaran sejarah dimasa lalu, tentunya kita akan senantiasa mengenang kebesaran beliau, dan mengingat jasa beliau. Tapi tidaklah cukup kalau hanya sekedar mengingatnya, tapi perlu juga mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan berusaha untuk mengaplikasikannya dalam berbagai kesempatan, karena apa yang sudah Bung Karno lakukan barulah sebuah awal Revolusi, maka beliau mengatakan Revolusi Indonesia Belum Selesai.

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”(Bung Karno)

Putra Sang Fajar itu meninggalkan berbagai kenangan bagi Bangsa ini, sejarah Indonesia tidak terlepas dari sejarah Perjuangan Bung Karno, bahkan Indonesia pun tidak bisa dipisahkan dari Nama Besar Ir. soekarno. Hari ini 42 tahun yang lalu, 21 Juni 1970, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Gator Soebroto, pukul 7 pagi..Indonesia pun Berduka.

Refleksi 42 tahun wafatnya Bung Karno

Selamat Jalan Bung Besar…Pahlawan Besar…Bapak Bangsa Indonesia
Jasamu selalu kami kenang.

Ingin terlihat Hebat, Tuhan pun Dihujat




Ketidakseimbangan akal dan budi, membuat pikiran mudah tersesat, padahal maksud hati ingin dibilang hebat, dan menjadi yang terhebat, agama dan tuhanpun dihujat. Inilah akibat jika manusia akal dan budinya tersesat.

Mengetahui dan mengerti memang tidaklah sama, sama halnya yakin dengan meyakini, yakin tidak memerlukan alasan apapun, meyakinipun demikian, meyakini hanya butuh keikhlasan, dan itu tidak perlu dipertanyakan.

Manusia tersesat karena ambisi, iblispun bersemayam didalam setiap ambisi, ambisi ada karena nafsu, nafsu terlalu karena syaitan, dan syaitanpun cenderung mengajak pada kesesatan, dan manusiapun tersesat karena dituntun syaitan.

Untuk hal yang tidak pentingpun Tuhan dikorbankan, hanya karena kurang kerjaan dan mencari perhatian, kok senang ya dituntun sama syaitan daripada tuntunan Tuhan, diberikan ilmu dan iman malah disalah gunakan, itu semua karena tidak pernah bersyukur atas anugerah yang diberikan, akhirnya merasa lebih hebat dari Tuhan, semua tentang Tuhanpun dipertanyakan, itulah manusia yang selalu cenderung pada syaitan dan keksesatan, karena ilmu dan iman salah memanfaatkan.

Dipuja populeritas dan bangga dengan segala publisitas, dia pikir itu pertanda penuh kualitas, padahal mencari jalan pintas untuk kepentingan yang tidak jelas, menolak beriman secara ikhlas hanya untuk mengejar populeritas, padahal jika Tuhan berkehendak semua itu akan bablas dan tergilas.

Kebenaran dan "Realitas Hidup"



Kebenaran semakin lama semakin absurd, karena kebenaran yang dipakai atas dasar kekuasaan, yang benar bisa saja menjadi salah, sementara yang salah dibenarkan. Nilai-nilai kebenaran yang hakiki sudah banyak ditinggalkan, kebenaran dan kepalsuan berjalan dengan bergandengan tangan.

Benar menurut kita belum tentu benar bagi orang lain, karena kebenaran itu sifatnya relatif. Penilaian berdasarkan kepentingan pribadi sangatlah bersifat subjektif, sangat sulit mencari kebenaran dalam takaran universal, karena sudah hampir tidak ada.

Banyak orang menilai kebaikan orang itu hanya karena seseorang tersebut suka memberi, padahal tidak semua memberi itu dibarengi ketulusan, maka nilailah kebaikan itu dari sikap dan prilaku seseorang bukan dalam waktu yang singkat, dan jangan nilai ucapannya sebagai kebaikan, tapi ambilah hal-hal yang baik dari yang diucapkannya.

 Jangan pernah menghakimi seseorang atas kesalahan yang belum tentu dia lakukan, tapi lihatlah kesalahan tersebut untuk mencari kebenaran yang lain, karena tidak jarang kesalahan yang terlihat dipermukaan itu hanya untuk menutupi kebenaran yang sesungguhnya.

Pakaian dan Kepalsuan seringkali digunakan untuk mencari populeritas dan ketenaran, padahal semua itu adalah kebohongan yang memang sudah direncanakan, sesungguhnya hal-hal yang seperti itu tidaklah akan mencapai keabadian, karena kebohongan yang diciptakan akan melahirkan kebohongan baru dalam pencitraan.

Hidup dan berpijaklah dalam realitas yang sebenarnya, janganlah bangun istana diatas angin, karena angin tidak pernah dapat membaca, dan selalu berubah-ubah arahnya. Realitas adalah kenyataan yang sebenarnya, yang sedang kita hadapi didepan mata.

Illustrasi : http://dakwahinside.files.wordpress.com/2010/10/kebenaran1.jpg