Tampilkan postingan dengan label Hankam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hankam. Tampilkan semua postingan

4 Faksi Gerilyawan Pemakzulan Presiden


Foto:ayosemarang.com


Sinyalemen adanya upaya Pemakzulan terhadap pemerintahan Jokowi, bisa jadi bukan cuma isapan jempol. Kalau melihat dari beberapa gejala yang muncul akhir-akhir ini, memang sudah menuju kearah upaya Pemakzulan Presiden Jokowi. 

Baru-baru ini Amien Rais tiba-tiba saja bicara tentang pemunduran Jokowi, dalam pembicaraannya seakan-akan dia tidak setuju dengan adanya pemunduran Jokowi. Apa coba motivasinya membicarakan hal tersebut, apa Amien sudah tahu ada upaya kelompok tertentu untuk memakzulkan Jokowi? 

Selanjutnya, ramai menjadi pembicaraan publik, diskusi tentang 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang diadakan oleh Fakultas UGM. Diskusi ini sempat ada yang menuduhkan sebagai upaya makar, sehingga akhirnya diskusi tersebut dibatalkan pelaksanaannya. 

Berikutnya ada Webinar, yang tema pembahasannya juga sama dengan di UGM, tentang pemakzulan Presiden. Diantara narasumber ada Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, juga adan Dosen Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Din Samsudin. 

Disamping itu, maraknya isu kebangkitan PKI, yang juga ditengarai sengaja dihembuskan kembali oleh kelompok yang ingin memakzulkan Presiden. Isu PKI ini dihembuskan hanya untuk memantik kekeruhan politik dimasyarakat. 

Sinyalemen ini sangat mendekati apa yang disinyalir Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens, yang mengaku sudah mengantongi nama para tokoh oposisi yang ikut melancarkan upaya kudeta terhadap Presiden Jokowi. 

Seperti dilansir Tribunews.com, kelompok ini diduga ingin memakai sejumlah isu sebagai materi provokasi dan propaganda politik.

Di antaranya, isu komunisme dan isu rasisme Papua menyusul gejolak akibat kematian warga kulit hitam George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat.

Apa yang disinyalir Boni Hargens ini sangat mendekati apa yang penulis duga diatas, pola gerakan yang dilakukan sangat terencana, terstruktur, sistematis dan masif. Gerakan ini merupakan gerakan gerilya, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang seperti diduga oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. 

Boni Hargens menduga ada empat kelompok yang tergabung dalam sebuah gerakan yang disebutkannya sebagai 'Laskar Pengacau Negara'. Menurut Boni, kelompok ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai 'barisan sakit hati', karena apa yang dilakukan bukan semata dikarenakan dendam politik. 

Inilah 4 kelompok yang dimaksudkan oleh Boni Hargens, yang saya kutip masih dari Tribunews.com, 

Pertama, kelompok politik yang ingin memenangkan pemilihan Presiden 2024. Kelompok ini sangat mudah diduga tentunya, karena pola gerakannya dalam mem-blow up calon yang diidolakan, sudah terlihat secara gamblang. 

Kedua, kelompok bisnis hitam yang menderita kerugian karena kebijakan yang benar selama pemerintahan Jokowi. Kelompok ini juga mudah ditebak, diduga adalah barisan mafia yang secara bisnis banyak dirugikan oleh kebijakan pemerintahan Jokowi. 

Ketiga, ormas keagamaan terlarang seperti HTI yang jelas-jelas ingin mendirikan negara syariah. Kelompok ini boleh dikatakan sebagai kelompok pembonceng yang ingin memanfaatkan kedaan, karena mempunyai agenda tersendiri. 

Keempat, barisan oportunis yang haus kekuasaan dan uang," jelasnya. Kelompok keempat ini bisa dianggap sebagai Tim hore, yang memang kebiasaannya sebagai penikmat kekuasaan, yang orientasinya semata-mata karena uang. 

Kalau penulis sendiri menganggap kelompok-kelompok ini sebagai Gerilyawan Pemakzulan Presiden, yang memang sudah bergrilya sejak beberapa bulan yang lalu. Kelompok ini pernah memberikan prediksi rezim Jokowi akan segera tumbang. 

Apa yang disinyalir Boni Hargens bisa jadi mengandung kebenaran, terkait empat kelompok yang berusaha kudeta Presiden Jokowi. Kalau melihat dari berbagai indikator yang seperti penulis sebutkan diatas, gerakan ini memang sangat terstruktur, sistematis dan masif. 

Gerakan ini memang sengaja memanfaatkan situasi dan kondisi negara yang sedang perang melawan covid-19. Momentum ini dianggap sebagai peluang yang tepat untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Lihat saja linimasi media sosial sangat kental dengan serangan-serangan terhadap pemerintahan Jokowi. 

Pada awal pandemi covid-19, disaat pemerintah ingin membuat sebuah kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran corona, begitu banyak pihak yang mendesak Jokowi agar menerapkan Lockdown, namun rupanya Jokowi lebih memilih untuk menerapkan pembatasan sosial berskala bear (PSBB). 
Jokowi sudah mencium gelagat yang tidak baik dari desakan tersebut. Ternyata langkah Jokowi mematahkan rencana kelompok ini, sehingga kehilangan momentum untuk menciptakan chaos. Pada saatnya, semua akan terbuka, siapa yang sesungguhnya yang melakukan penghianatan terhadap negara. 
Disaat negara dan bangsa ini sedang fokus melawan pandemi corona, kelompok ini malah berusaha untuk melakukan gerakan, demi untuk menciptakan kekacauan, yang ujung-ujungnya pemakzulan Presiden. 

Penembakan Bermotif "Politik" di Papua




Pada daerah-daerah rawan konflik seringkali konflik dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan politik. Seperti Aceh dan Papua akhir-akhir ini sering terjadi penembakan “Misterius” terhadap penduduk yang tidak bersalah. Jelas motif penembakan ini bertujuan untuk memancing terjadi Chaos, dan memelihara konflik yang bekepanjangan.

Kalau sudah begitu maka motif penembakan bukan lagi motif ekonomi atau kriminal biasa, seperti yang terjadi di Jakarta, tapi lebih kepada motif politik. Kalau benar motif politik, kepentingan apa yang menjadi tujuannya ? Kalau pada jaman Orde Baru, meletupkan kembali konflik yang sering terjadi lebih kepada tujuan untuk pengalihan isu dan menciptakan ketakutan, dan sudah bisa diduga siapa yang sedang bermain.

Beberapa penembakan yang terjadi dalam hari yang sama antara lain terjadi, penembakan terhadap warga Jerman, Dietmar Dieter (55) yang ditembak di Pantai Base G Jayapura, Selasa 29 Mei 2012, pukul 12.30 WIT. Kemudian, Anton Arung Tambila, guru SD ditembak di Distrik Mulia, Puncak Jaya. Begitu lincah dan ahlinya pelaku penembakan sehingga tidak bisa dilacak dan dianggap misterius.

Penembakan ini jelas dilakukan oleh orang-orang yang terlatih, dan dilakukan oleh ahli menembak dari jarak yang jauh. Tujuan penembakan ini dapat diduga untuk menciptakan situasi ketakutan bagi masyarkat sekitarnya, efek berikutnya adalah terjadinya situasi chaos. Kalau memang kriminal biasa atau kejahatan berlatar belakang ekonomi, tentunya barang-barang milik korban pun ikut diambil, tapi disini nyatanya tidak demikian.
Lembaga pemantau HAM Imparsial juga menilai motif di balik itu semua bukanlah ekonomi. Melainkan politik. Seperti yang dikatakan Direktur Eksekutif Imparsial,Poengky Indarti pada Vivanews.com:

“Kalau di kota-kota seperti Jakarta penembakan banyak bermotif ekonomi. Tapi di Papua kami menduganya motif politik sangat kuat,”

Begitu juga penembakan yang terjadi di Aceh, kuat diduga target penembakan sama halnya dengan yang terjadi di Papua, karena korban penembakan juga adalah masyarakat biasa yang tidak bermasalah, atau karena berlatar belakang pertikaian. Ada pihak-pihak yang dengan sengaja ingin memelihara konflik, dan memetik keuntungan secara politis kalau sampai terjadi situasi chaos.

Kalaulah benar dugaan-dugaan diatas, sungguh miris kita melihat semua kenyataan ini. Betapa politik memang tidak punya mata, dan yang berpolitik pun tidak lagi memakai mata hati, dan benarlah kalau dikatakan “Dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah Kepentingan yang abadi.” Kepentingan adalah segala-galanya bahkan darah daging pun bisa diabaikan.