Tampilkan postingan dengan label opini berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini berita. Tampilkan semua postingan

4 Faksi Gerilyawan Pemakzulan Presiden


Foto:ayosemarang.com


Sinyalemen adanya upaya Pemakzulan terhadap pemerintahan Jokowi, bisa jadi bukan cuma isapan jempol. Kalau melihat dari beberapa gejala yang muncul akhir-akhir ini, memang sudah menuju kearah upaya Pemakzulan Presiden Jokowi. 

Baru-baru ini Amien Rais tiba-tiba saja bicara tentang pemunduran Jokowi, dalam pembicaraannya seakan-akan dia tidak setuju dengan adanya pemunduran Jokowi. Apa coba motivasinya membicarakan hal tersebut, apa Amien sudah tahu ada upaya kelompok tertentu untuk memakzulkan Jokowi? 

Selanjutnya, ramai menjadi pembicaraan publik, diskusi tentang 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang diadakan oleh Fakultas UGM. Diskusi ini sempat ada yang menuduhkan sebagai upaya makar, sehingga akhirnya diskusi tersebut dibatalkan pelaksanaannya. 

Berikutnya ada Webinar, yang tema pembahasannya juga sama dengan di UGM, tentang pemakzulan Presiden. Diantara narasumber ada Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, juga adan Dosen Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Din Samsudin. 

Disamping itu, maraknya isu kebangkitan PKI, yang juga ditengarai sengaja dihembuskan kembali oleh kelompok yang ingin memakzulkan Presiden. Isu PKI ini dihembuskan hanya untuk memantik kekeruhan politik dimasyarakat. 

Sinyalemen ini sangat mendekati apa yang disinyalir Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens, yang mengaku sudah mengantongi nama para tokoh oposisi yang ikut melancarkan upaya kudeta terhadap Presiden Jokowi. 

Seperti dilansir Tribunews.com, kelompok ini diduga ingin memakai sejumlah isu sebagai materi provokasi dan propaganda politik.

Di antaranya, isu komunisme dan isu rasisme Papua menyusul gejolak akibat kematian warga kulit hitam George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat.

Apa yang disinyalir Boni Hargens ini sangat mendekati apa yang penulis duga diatas, pola gerakan yang dilakukan sangat terencana, terstruktur, sistematis dan masif. Gerakan ini merupakan gerakan gerilya, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang seperti diduga oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. 

Boni Hargens menduga ada empat kelompok yang tergabung dalam sebuah gerakan yang disebutkannya sebagai 'Laskar Pengacau Negara'. Menurut Boni, kelompok ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai 'barisan sakit hati', karena apa yang dilakukan bukan semata dikarenakan dendam politik. 

Inilah 4 kelompok yang dimaksudkan oleh Boni Hargens, yang saya kutip masih dari Tribunews.com, 

Pertama, kelompok politik yang ingin memenangkan pemilihan Presiden 2024. Kelompok ini sangat mudah diduga tentunya, karena pola gerakannya dalam mem-blow up calon yang diidolakan, sudah terlihat secara gamblang. 

Kedua, kelompok bisnis hitam yang menderita kerugian karena kebijakan yang benar selama pemerintahan Jokowi. Kelompok ini juga mudah ditebak, diduga adalah barisan mafia yang secara bisnis banyak dirugikan oleh kebijakan pemerintahan Jokowi. 

Ketiga, ormas keagamaan terlarang seperti HTI yang jelas-jelas ingin mendirikan negara syariah. Kelompok ini boleh dikatakan sebagai kelompok pembonceng yang ingin memanfaatkan kedaan, karena mempunyai agenda tersendiri. 

Keempat, barisan oportunis yang haus kekuasaan dan uang," jelasnya. Kelompok keempat ini bisa dianggap sebagai Tim hore, yang memang kebiasaannya sebagai penikmat kekuasaan, yang orientasinya semata-mata karena uang. 

Kalau penulis sendiri menganggap kelompok-kelompok ini sebagai Gerilyawan Pemakzulan Presiden, yang memang sudah bergrilya sejak beberapa bulan yang lalu. Kelompok ini pernah memberikan prediksi rezim Jokowi akan segera tumbang. 

Apa yang disinyalir Boni Hargens bisa jadi mengandung kebenaran, terkait empat kelompok yang berusaha kudeta Presiden Jokowi. Kalau melihat dari berbagai indikator yang seperti penulis sebutkan diatas, gerakan ini memang sangat terstruktur, sistematis dan masif. 

Gerakan ini memang sengaja memanfaatkan situasi dan kondisi negara yang sedang perang melawan covid-19. Momentum ini dianggap sebagai peluang yang tepat untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi. Lihat saja linimasi media sosial sangat kental dengan serangan-serangan terhadap pemerintahan Jokowi. 

Pada awal pandemi covid-19, disaat pemerintah ingin membuat sebuah kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran corona, begitu banyak pihak yang mendesak Jokowi agar menerapkan Lockdown, namun rupanya Jokowi lebih memilih untuk menerapkan pembatasan sosial berskala bear (PSBB). 
Jokowi sudah mencium gelagat yang tidak baik dari desakan tersebut. Ternyata langkah Jokowi mematahkan rencana kelompok ini, sehingga kehilangan momentum untuk menciptakan chaos. Pada saatnya, semua akan terbuka, siapa yang sesungguhnya yang melakukan penghianatan terhadap negara. 
Disaat negara dan bangsa ini sedang fokus melawan pandemi corona, kelompok ini malah berusaha untuk melakukan gerakan, demi untuk menciptakan kekacauan, yang ujung-ujungnya pemakzulan Presiden. 

Jokowi Akan Gigit "Makelar Kodok"


Foto: Detik.com


"Ada yang senang impor, tapi tidak mau diganggu impornya, mau minyak atau LPG. Saya akan ganggu. Pasti akan saya gigit itu orang," tambahnya.

Para penyuka impor yang disebutkan Jokowi saya analogikan seperti 'makelar kodok', tapi bukan makelar yang import kodok, melainkan penyuka import yang seperti kodok.

Mereka hanya muncul dimusim berbagai import komoditas kebutuhan masyarakat, seperti kodok muncul dimusim hujan, bersuka cita sambil bernyanyi untuk terus memanggil hujan.

Begitu juga para makelar kodok (mafia import), sampai komoditas yang tidak perlu di import pun tetap mereka import. Lihat saja Pacul pun sampai di import, padahal produk dalam negeri kualitasnya lebih bagus daripada import.

Para makelar kodok ini mana peduli kalau impor komoditas yang menjadi penyebab membengkaknya neraca perdagangan dan melebarnya defisit transaksi berjalan/current account defisit (CAD).

Mereka hanya berpikir tentang kepentingan kelompoknya, tidak pernah berpikir dampaknya pada negara dan masyarakat. Sekarang Jokowi tidak lagi peduli, Jokowi akan ganggu mereka, bahkan kalau perlu direbus dalam panci ala merebus kodok.

"CAD kita selalu mengganggu volatilitas rupiah. Ini karena ketergantungan yang besar terhadap impor, terutama minyak dan gas," tutur Jokowi.

Pernyataan Jokowi ini sepintas terkesan marahnya terhadap makelar kodok sudah mencapai ubun-ubun. Namun, namanya makelar kodok tetap saja cengengesan seakan tak peduli.

Jokowi akan kondisikan para makelar kodok ini pada situasi yang serba salah, impor diturunkan dan dikurangi, regulasinya juga diperketat. Kalau biasanya makelar kodok bekerja dalam regulasi, sekarang peluang untuk itu akan semakin diperkecil.

Jadi benar-benar seperti kodok yang direbus didalam panci, mau keluar dari panci gak bisa, tetap bertahan malah direbus sampai matang. Begitulah cara Jokowi mengganggu para makelar kodok ini nantinya.

Para makelar kodok ini rerata adalah sekondan elit politik yang memanfaatkan mereka. Bisa bekerja dalam regulasi pun atas perantara elit politik yang ada dilingkaran Istana. Itulah yang membuat Jokowi begitu geram dengan makelar kodok ini, sehingga Jokowi sampai-sampai ingin menggigitnya.

Jokowi sudah kantongi nama-nama mereka, namun dia tidak bersedia membeberkannya. Ini hanya persoalan waktu saja, kalau sudah waktunya, dan habis kesabaran Jokowi, maka para makelar kodok ini akan digigit Jokowi.

Hal itu disampaikan Jokowi dalam menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Raffles Hotel, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Sumber: https://amp-kompas-com.cdn.ampproject.org/v/s/amp.kompas.com/money/read/2019/11/29/062800326/jokowi--saya-tahu-siapa-yang-suka-impor-minyak?amp_js_v=a2&amp_gsa=1&usqp=mq331AQCKAE%3D#aoh=15750398625138&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=From%20%251%24s

Haram, Halal, Hantam saja

Illustrasi : Fimadani.com


Ada guyonan sebagian orang, jangankan mencari uang yang halal, mencari uang yang haram saja susah sekarang ini. Mungkin guyonan ini sangat pas bagi orang yang menganut faham 3 H ( Haram, Halal, Hantam saja), tapi tidak bagi orang-orang yang masih menjujung tinggi norma-norma keagamaan.

Pernah seorang atasan saya mengingatkan semasa bekerja disebuah Perusahaan Swasta yang cukup Bonafit; ” Jangan sekali-kali kamu memberikan makan anakmu bukan dari hasil jerih payahmu, artinya uang yang kamu dapat dengan cara yang tidak baik, karena uang seperti itu jika dimakan keluargamu, maka tidak akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi tubuhnya.” Lantas saya pun bertanya apa efeknya, beliau cuma menjawab :

”Sesuatu yang tidak berkah kalau dimakan dia tidak menjadi darah yang baik, dan itu nantinya akan menjadi penyakit.”

Seorang teman saya yang keturunan Tionghoa juga pernah bercerita pada saya, kalau dia bisnis dan uang hasil bisnis itu akan dimanfaatkan untuk membiayai dan menghidupi keluarga, tidak untuk bermaksiat, kalau pun dia menggunakan uang untuk maksiat, itu adalah uang yang didapat dari bisnis sampingan, dan tidak dicampur adukkan dengan uang hasil bisnis pokoknya.

Ada kesamaan prinsip antara nasihat atasan saya dengan apa yang dikatakan teman saya tersebut, bahwa memberikan makan keluarga hendaklah dari hasil yang diperoleh dengan cara yang baik dan halal, karena uang yang didapat dengan cara tidak baik, maka tidak baik pula untuk diberikan pada anak dan isteri. 

Menurut atasan saya lagi, uang yang haram jika makan oleh anak dan isteri, maka anak tersebut akan menjadi anak yang pembangkang dan tidak patuh kepada orang tua, dasar pemikirannya adalah karena apa yang masuk kedalam tubuhnya adalah sesuatu yang tidak mendapatkan Ridho dan Berkahnya.

Mungkin bagi sebagian orang pemikiran seperti ini akan dianggap sebagi pemikiran yang kurang rasional, dan susah dicerna secara logika, tapi pada kenyataannya memang demikianlah adanya. Tulisan ini hanyalah sekedar untuk berbagi, mungkin ada manfaatnya, apakah para pembaca sekalian ada yang sepemikiran dan tulisan ini, atau juga tidak sepemikiran, marilah sama-sama kita melihat sisi postif dan manfaatnya saja.

Semoga tulisan ini Bermanfaat bagi pembaca semua..

PKS Tidak Lebih baik

foto: Lensaindonesia.com



Kalau dikatakan PKS lebih baik dari Demokrat secara moralitas tentu masih sulit untuk menjabarkannya, karena pada kenyataannya Presiden PKS terlibat kasus korupsi Sapi Import. Secara prosentase memang kader Demokrat lebih banyak yang tersangkut kasus korupsi, sementara PKS yang paling menonjol kasus korupsinya justeru pada pucuk pimpinan partainya. Lantas kenapa kasus korupsi PKS yang lebih hangat menjadi sorotan saat ini, bahkan partai PKS terancam untuk dibekukan, sehingga membuat Wakil Sekjen PKS, Fahri Hamzah menjadi berang.

Selama ini ekspektasi kita terhadap PKS sangatlah tinggi, PKS sebagai Partai yang berbasis Islam dengan hampir rata-rata kadernya dijidatnya ada tanda hitamnya, sebagai simbol penganut Islam yang Kaffah, tentu banyak yang berharap PKS adalah sebuah kendaraan politik ummat Islam yang sesuai dengan harapan, tapi sayangnya pucuk pimpinan partai yang begitu diagungkan tersebut
tersandung kasus korupsi.

Sementara itu Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa, sudah lebih dulu disorot, sehingga elektabilitasnya menurun drastis akibat isu-isu korupsi yang melanda para kadernya. Demokrat pun mengalami hal yang sama seperti PKS, menerima hujatan dan caci maki dari masyarakat, namun isu-isu tersebut dengan mudah diredam, terlebih sejak munculnya kasus korupsi yang melanda PKS.

Kalau mau dibilang ada kepentingan politik dibalik blow up kasus korupsi petinggi PKS, ya sangat mungkin, begitulah kalau kader partai melakukan kesalahan, tentu saja momentum tersebut sangat dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh lawan politiknya. Itu adalah hal yang biasa didalam dunia politik, kondisi seperti itu harus bisa disikapi secara cerdas bukan secara emosional, tapi sayangnya PKS sudah merasa sebagai partai yang ber Label Baik, sehingga kurang bisa menerima isu buruk yang melanda kadernya.

Kalau mau dibilang KPK pilih kasih dalam menangani kasus, saya sangat setuju, cara KPK menangani kasus korupsi yang terjadi pada kader partai Demokrat, berbeda dengan cara KPK menangani kasus korupsi yang terjadi pada PKS, dan tidak perlu saya uraikan secara detail dalam tulisan ini, karena hal tersebut secara nyata bisa terlihat secara terang benderang. Pertanyaannya tentulah, siapa sebetulnya yang sudah membonceng KPK, kenapa KPK pilih kasih dalam menangani kasus korupsi, bukankah ada yang menjadi Prioritas KPK, seperti pernah diungkapkan oleh Ketua KPK Abraham Samad diawal dia menjafi ketua KPK, adakah prioritas kasus tersebut sudah beliau tuntaskan.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa Kasus yang dialami LHI itu adalah bersipat pribadi, dan harus dipisahkan dari PKS, harus diingat, LHI saat melakukan perbuatan tersebut masih aktif sebagai Presiden PKS, LHI bisa mendapat fasilitas proyek tersebut tentunya karena jabatan partainya, bukanlah karena pribadinya, secara tidak langsung tentu ada korelasinya dengan PKS. Kader-kader PKS seharusnya tidak berang menyikapi kasus yang dialami LHI yang berdampak pada PKS, yang paling tepat saat ini bagi PKS adalah menekan KPK untuk juga menuntaskan kasus yang dialami oleh para kader Demokrat, apakah KPK bisa menegakkan hukum secara adil dalam hal ini.

Sebelum ada keputusan dan fakta hukum yang membuktikan bahwa kader partai PKS bersih dari kasus korupsi, maka PKS sama saja dengan Demokrat, kalau pun berbeda, yang beda tipislah.

Dengan Blusukan, Jokowi "Belum" Bekerja

Foto : Kompas.com



Bagi para Birokrat yang biasa memimpin dari belakang meja, gaya “Blusukan” Jokowi dianggap bukanlah kerja yang sesungguhnya, sehingga banyak sekali yang menganggap Jokowi “belum” bekerja. Masing-masing pemimpin/birokrat tentulah mempunyai karakteristik dalam memimpin dan melaksanakan pekerjaannya, namun Kultur Birokrasi baru yang ditawarkan Jokowi-Ahok, agaknya belum sepenuhnya bisa diterima banyak kalangan.

Beberapa tokoh yang menganggap Jokowi belumlah bekerja diantaranya adalah, Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Mantan Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, dan yang terakhir adalah Menaker Muhaimin Iskandar. Entah apa dasar penilaian mereka ini sehingga cara kerja blusukan Jokowi dianggap belum bekerja, padahal cara kerja blusukan Jokowi tersebut sangat diapresiasi oleh warga DKI Jakarta, bahkan mendapat penilaian positif dari masyarkat Indonesia pada umumnya.

Kalau secara umum masyarakat Indonesia menilai secara positif, itu artinya penilaian para pejabat tersebut diatas “Cacat Nilai” alias tidak bisa dianggap benar sebagai sebuah penilaian. Kultur baru dalam birokrasi yang diterapkan Jokowi tersebut jelas mempunyai efek yang postif terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dimana seorang pemimpin bisa langsung tahu hasil implementasi program yang dijalankan, dan juga tahu program apa yang tidak efektif penerapannya.

Kalau blusukan dianggap belumlah bekerja, tentulah ada yang salah dengan sudut pandang terhadap apa yang dinamakan dengan Bekerja itu sesungguhnya, kalaulah Gubernur DKI Jakarta sebelum-sebelumnya benar-benar bekerja, tentunya tidak lagi banyak yang harus dikerjakan Jokowi saat ini, tapi pada kenyataannya, apa yang dihadapi Jokowi sekarang ini adalah problem Jakarta yang tidak bisa diatasi oleh gubernur sebelumnya. Lantas pertanyaannya, apakah selama menjadi gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sudah bekerja dengan benar .?

Pertanyaan seperti itu pun bisa dialamatkan pada Hidayat Nur Wahid dan Muhaimin Iskandar, apakah selama mereka menjabat sudah melaksanakan pekerjaan dengan benar, atau jangan-jangan mereka cuma merasa sudah paling benar dalam bekerja selama ini. Saya malah curiga jangan-jangan cara kerja blusukan Jokowi ini malah telah membuka borok mereka, sehingga jadi gerah terhadap cara kerja blusukan Jokowi tersebut.

Seorang pengamat Komunikasi Politik, Ari Junaedi malah menganggap apa yang dilakukan Jokowi-Ahok itu sebagai Kultur Birokrasi yang baru, karena tidak umum dilakukan oleh para birokrat kita selama ini, dan merupakan perubahan baru dalam birokrasi di pemerintahan daerah, khususnya diwilayah Pemerintahan DKI Jakarta. Seperti yang disampaikannya pada Kompas.com :

“Jokowi-Ahok mengubah kultur yang selama ini kental di lingkungan pemda. Mereka telah menghadirkan gaya kerja berbeda yang terhitung langka pada lingkup birokrasi,”

Kalau selama ini para pejabat/birokrat hanya menerima laporan dari bawahannya, tanpa pernah tahu laporan tersebut sudah benar dilaksanakan atau tidak, sekarang seorang pejabat bisa langsung tahu apa kendala yang sedang dihadapi warga masyarakat, dan kendala tersebut bisa lebih cepat untuk diatasi tanpa melalui proses birokrasi yang berbelit. Lantas apakah Jokowi-Ahok dengan blusukan tetap dianggap belum bekerja ? Harus diluruskan sikap dan pandangan seperti itu, sudah saatnya pejabat/birokrat itu terjen langsung kemasyarakat, seperti yang diteladankan oleh Khalifah Umar Ibnu Khatap dalam memimpin ummatnya.

"Gratifikasi Sex" itu Lazim

Foto : SH News.co



Masalah Gratifikasi Seks menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini, karena pemberian hadiah berupa pelayanan seks ini dianggap susah untuk dijerat secara hukum. Dijaman Politik Transaksional sekarang ini, gratifikasi Seks juga dijadikan alat transaksi politik, bisa jadi hal ini yang membuat Politisi Demokrat dari Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika menganggap gratifikasi seks itu adalah sesuatu yang lazim sejak jaman kerajaan.

Mungkin benar apa yang dikatakan Pasek, tapi sesuatu yang lazim tersebut bukanlah berarti harus dilegalkan. Sebagai politisi yang duduk di Komisi Hukum DPR RI, seharusnya turut memberikan kontribusi pemikiran, pasal hukum seperti apa yang patut diterapkan untuk menjerat gratifikasi seks ini, bukan sekedar mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontrovesi tapi tidak memberikan solusi.

Seperti yang diberitakan Merdeka.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks. Pengkajian gratifikasi seks itu merujuk pada konvensi internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Itu artinya kita sendiri secara hukum belum menyiapkan Undang-undang tentang gratifikasi ini, nah inilah yang seharusnya menjadi tugas para penyelenggara negara.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku banyak menerima laporan mengenai gratifikasi seksual. Sampai sekarang menurut Mahfud, UU tentang Gratifikasi ini terus dirumuskan. Namun sayangnya Gede Pasek, yang notabene adalah orang yang duduk di Komisi Hukum DPR RI menganggap usulan KPK yang meminta gratifikasi seks dimasukkan dalam Undang-undang sebagai upaya berlebihan.

“Kalau diatur secara khusus, berlebihan. Kalau gratifikasi susah, ini membingungkan,” ujarnya.(Merdeka.com)

Tidak ada yang berlebihan kalau Gratifikasi seks itu dibuat payung hukumnya, karena gratifikasi seks itu adalah bagian dari transaksi suap bagi penjabat yang menyalahgunakan jabatan, dan bukanlah sesuatu yang sulit jika memang ada keinginan yang serius untuk memberantasnya. Atau jangan-jangan memang Gede Pasek sendiri sudah sering menggunakan gratifikasi seks itu dalam politiknya, sehingga dia menganggap sesuatu yang lazim dan perlu dilegalkan.

Sumber berita :
http://m.merdeka.com/peristiwa/gratifikasi-seks-nikmat-tapi-tak-bisa-dijerat.html

foto : SH News.co

Faktor Peneyebab "Korupsi di DPR"





Banyak faktor yang menyebabkan korupsi di DPR, sebagaimana kita ketahui lembaga ini dianggap sebagai salah satu lembaga Terkorup oleh banyak kalangan, hal ini terkait dengan berbagai kasus korupsi yang menyeruak akhir-akhir ini di lembaga tersebut, yang melibatkan beberapa anggota dewan baik anngota Komisi maupun Badan Anggaran.

Sebagai sebuah lembaga yang mempunyai posisi tawar yang bagus sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, sehingga Anggota DPR seperti merasa diatas angin, dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyelenggaraan negara. Padahal dibalik semua itu kalau benar-benar disadari oleh Anggota Dewan terhormat, ada beban dan tanggung jawab yang besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Anggota Dewan adalah Representasi dari rakyat yang diwakilinya, bukanlah pejabat negara yang mewakili dirinya sendiri atau partai.

Lembaga DPR mempunyai 3 Fungsi, yang mana fungsi ini tidak mungkin dimiliki lembaga lain, fungsi tersebut meliputi :
  1. Fungsi Legislasi

  2. Fungsi Anggaran

  3. Fungsi Pengawasan
Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. fungsi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan dalam hal perancangan undang-undang, dan kalau DPR tidak menjaga amanat rakyat maka DPR akan mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan eksekutif yang terkait dengan penerapan undang-undang yang dibutuhkan. Dalam hal ini DPR rentan terhadap Suap, dan suap adalah bagian dari Tindak Pidana Korupsi.

Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Pada kalimat Memberikan persetujuan dan tidak memberikan persetujuan diatas, jelas menandakan DPR mempunyai posisi tawar, dan posisi ini juga bisa disalahgunakan, sangat mungkin terkait persetujuan anggaran ini DPR mudah untuk disuap.

Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Pada fungsi ini pun DPR bisa dilemahkan dengan Suap, sehingga pada akhirnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN pun berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semua terlihat secara terang benderang bahwa DPR tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Tiga faktor diatas yang terkait dengan fungsi DPR adalah hal yang menyebabkan lembaga DPR termasuk lembaga terkorup sekarang ini. Selain itu persolan mentalitas dan Moralitas adalah hal yang sangat mendasar yang membuat terjadinya Korupsi di DPR.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi di DPR tidak mungkin hanya DPR yang terlibat, jelas ada peran Eksekutif yang turut berperan dalam berbagai proyek yang di Korupsi. Kongkalingkong anatara eksekutif dan legislatif ini sudah menjadi rahasia umum, jadi kalau pejabat sekelas Presiden tidak tahu telah terjadi penyelewengan APBN itu memang sangat mustahil.

Diakui oleh presiden SBY proses alokasi APBN dan APBD masih banyak yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan ada indikasi dikorupsi. SBY mengaku temuan-temuan itu menjadi evaluasi khusus pemerintahannya. “Oleh karena itu, saya instruksikan kepada jajaran pemerintah untuk membenahi perencanaan dan implementasi dari APBN dan APBD kita,”

Melihat pernyatan SBY tersebut diatas tentunya sebagai Presiden SBY cukup mengetahui adanya lobi-lobi yang tidak transparan anatara DPR dan pejabat eksekutif, hanya saja kita tidak tahu tindakan tegas apa yang bisa dilakukan SBY, yang jelas SBY hanya mengeluarkan sekedar himbauan atau Instruksi, sesuai dengan kapasitasnya sebagai presiden.


Pelajaran dari "Proyek Hambalang"




Dengan adanya kejadian ambruknya dua bangunan gedung di Proyek Hambalang harusnya bisa menjadi pelajaran, bahwa sebuah Mega Proyek yang berbiaya mahal kalau ditangani secara tidak cermat dan profesional, maka akan ada saja masalahnya. Terlepas dari ambruknya dua gedung tersebut karena kondisi alam, tapi seharusnya kondisi tanah dan kualitas bangunan sudah ada dalam perhitungan.

Proyek Hambalang ini diduga penuh aroma korupsi dan hal tersebut sudah menjadi konsumsi publik dan proses hukum kasus ini sedang dalam penyelidikan. Ambruknya bangunan gedung Pembangkit Listrik dan Lapangan Olah Raga yang merupakan bagian dari proyek Hambalang tersebut, bisa dijadikan indikator adanya kelemahan dalam pengelolaan pembangunannya.

Yang banyak terjadi, jika sebuah proyek banyak ketidakberesan dalam pembangunannya, maka akan ada saja akibat yang akan ditimbulkan, tidak sesuainya bangunan yang dikerjakan dengan Bestek yang sudah direncanakan, akan sangat berpengaruh pada kualitas bangunan. Tapi mungkin saja proyek hambalang ini tidaklah seperti itu, namun perlu penyelidikan lebih lanjut oleh pihak-pihak yang berwenang.

Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, sebagai penanggung jawab proyek, memerintahkan penghentian sementara proyek Hambalang. Khususnya di lokasi ambruknya dua gedung di area proyek pembangunan pusat olahraga di kawasan Sentul, Bogor, itu.

Penghentian sementara pembanguna proyek tersebut seharusnya ditindaklanjuti dengan investigasi, apakah proyek tersebut dilaksanakan sudah sesuai dengan perencanaan, atau memang terindikasi adanya manipulasi Bestek yang tidak sesuai dengan yang dianggarkan. Mega Proyek Hambalang ini bukanlah proyek kecil-kecilan, karena proyek ini berbiaya 1,2 Triliyun rupiah, tentunya perlu dipertanggung jawabkan.

Terlepas dari peristiwa alam yang menyebabkan ambruknya kedua bangunan gedung tersebut, seperti yang diberitakan, dua bangunan di dalam lokasi proyek pusat olahraga di Bukit Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, ambruk karena tanahnya ambles. Insiden itu terjadi Kamis 24 Mei 2012 tengah malam setelah hujan deras menguyur kawasan itu.

Pastinya proyek Triliyunan rupiah itu dibangun dengan sangat profesional, dan sudah memperhitungkan berbagai aspek tekhnis baik yang menyangkut kondisi tanah mau pun kualitas bangunan, apa lagi proyek tersebut ditangani oleh PT. Adhi Karya, yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya, namun secanggih apa pun manusia merencanakannya tetap saja tidak terlepas dari berbagai kelemahan.

Seperti yang diberitakan Vivanews.com, lokasi proyek tersebut tertutup untuk liputan wartawan, dan dijaga petugas keamanan,  berdasarkan keterangan dari petugas keamanan yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut, tidak ada bangunan yang ambruk, padahal sebelumnya pemberitaan media dan keterangan Menpora Andi Malarangeng diakui memang ada dua bangunan yang ambruk diakibatkan tanahnya amblas. 

Proyek Hambalang menjadi perhatian publik. Karena proyek raksasa itu kerap disebut mantan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin selama dalam penyidikan KPK. Bahkan Kamis 24 Mei lalu, Menpora Andi Mallarangeng diperiksa 10 jam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait proyek Hambalang.