Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Enaknya Jadi Presiden Dimasa Orde Baru


Foto: Geotimes.co.id

"Piye kabare, enak jamanku to? 

Kata-kata diatas sangat melekat dengan Mantan Presiden RI kedua, HM Soeharto, lambayan tangan dan senyum yang menawan, menjadi simbol kemapanannya, seolah-olah memimpin tanpa beban, dan tanpa ada tekanan. 

Itulah makanya kekuasaan Soeharto bisa bertahan selama 32 tahun, melebihi kekuasaan Soekarno, Presiden pertama dan juga proklamator Republik Indonesia. 

Jelas sangat enak menjadi Presiden di era Orde Baru, karena tidak ada yang berani menghina Presiden, tidak ada yang berani melecehkan Presiden, seperti penghinaan dan pelecehan Presiden di era Reformasi. 

32 tahun kita tidak mengenal apa yang dinamakan Demokrasi, komunikasi hanya terjadi satu arah, dari pemerintah kepada rakyatnya. Mana ada rakyat yang berani protes seperti sekarang ini. 

Imformasi yang keluar di berbagai media, hanya berita baik, kalau pun ada berita buruk yang terberitakan, itu pun berita buruk yang sudah diperbaiki sesuai dengan keinginan penguasa. 

Penak jamaku to? 

Ya enaklah, rakyat harus dibikin nyaman, harus merasa aman dan sejahtera, karena kunci untuk berkuasa secara aman dan nyaman, rakyat harus disejahterakan. Soal seperti apa mensejahterakannya, rakyat gak perlu tahu. 

Rakyat aman dan sejahtera, pemimpin tentunya sangat-sangat sejahtera, begitu juga dayang-dayang disekitarnya. Begitulah kelebihannya berada di era Orde Baru, semua sudah diatur sedemikian rupa, agar terlihat aman, tentram dan sejahtera. 

Begitu lepas dari jaman itu, seketika semua berubah, demokrasi kebablasan, kebebasan berpendapat atas nama demokrasi menjadi sesuka hati tanpa aturan. 

Kesenjangan antara Orde Baru dan Reformasi begitu terasa, bagi orang-orang yang terbiasa hidup dari belas  kasihan pemerintah. Sama sekali tidak merasa pernah dibungkam kemerdekaannya, hak-hak konstitusinya dikebiri, dia tidak pernah mengerti. 

Betapa tidak enaknya menjadi Presiden setelah Orde Baru, begitu mudah untuk disingkirkan, semua telunjuk begitu mudah diarahkan ke muka seorang Presiden, yang tidak terjadi dimasa Orde Baru. 

Siapa saja bisa dengan bebas mencaci-maki Presiden, bahkan rakyat jelata sekalipun. Dan tidak satupun dari mereka yang dihilangkan nyawanya karena menghina Presiden, sehingga menghina dan mencaci-maki Presiden dianggap hal yang biasa. 

Anggota parlemen bisa bersuara lantang di era reformasi, padahal di era orde baru selalu satu suara dengan pemerintah, bahkan legislatif tidak sejajar dengan eksekutif, legislatif tunduk pada eksekutif. 

Ada yang memimpikan kembali ke zaman seperti itu? Dimana semua harus satu suara dengan penguasa, rakyat tidak perlu berpendapat, cukup patuh pada pemerintah, dan terima saja apa yang diberikan pemerintah, tanpa ada protes. 

Seperti sekarang inilah keadaan negara kita sesungguhnya, yang sedang berusaha mencapai apa yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, tanpa merekayasa keadaan seoalah-olah sejahtera. 

Kalau saja 60 tahun pertama paskakemerdekaan negara ini dikelola dengan benar, kita sudah sejajar dengan bangsa dan negara lainnya di dunia. Kita tidak kekurangan orang pintar, hanya saja kita tidak banyak orang jujur. 

Sekarang negara ini sangat gaduh, karena terlalu banyak orang pintar, sehingga semua bersuara dengan kepintarannya, tidak ada lagi yang menjadi yang mendengar, sehingga tidak ada yang tahu bagaimana solusinya. Semua yang pintar cuma bisa menyalahkan, tanpa memberikan solusinya. 

Mungkin kita harus dipimpin oleh seorang otoriter, sehingga kita baru bisa merasakan betapa berharganya kebebasan berpendapat, dan kita bisa menghargai seorang pemimpin yang tangannya begitu terbuka untuk memeluk rakyatnya. 

Amien Rais Takut Jokowi Mundur?



Foto: pinterpolitik.com

Mendadak sontak Amien Rais membahas soal mundurnya Jokowi, ada apa? Apa yang ada dibenak Alien sehingga sampai membahas pemunduran Jokowi? 

Dalam wawancaranya di channel YouTube Refly Harun yang tayang pada Kamis (21/5/2020), Amien mengatakan pada Refly jangan sampai Jokowi mundur di tengah jalan. 

Padahal selama ini Amien sering mengkritik Jokowi, bahkan kerap berusaha untuk melengserkan Jokowi, tiba-tiba sekarang berbalik malah sangat menyayangkan jika Jokowi mundur. 

Ucapan bersayap Amien Rais ini sangat multiftafsir, bisa jadi dari ucapan ini justeru Amien sangat menginginkan Jokowi mundur. 

Kalau menyimak pembicaraannya tentang proses pergantian Presiden, sejak pelengseran Soeharto, sampai pada pelengseran Gus Dur, Amien Rais seolah-olah merasa sebagai orang diluar panggung pada saat itu. 

Padahal pada kenyataannya, pada setiap proses tersebut peranan Amien Rais tidak bisa diabaikan. Justeru sejarah mencatat, pada setiap proses pergantian yang terjadi ada keterlibatan Amien Rais. 

Yang lucunya lagi, Amien merasa aneh dengan proses pergantian Presiden yang berlangsung dalam waktu singkat pada 1998 - 2004.

Sebagaimana kita ketahui, ketika Presiden Soeharto lengser pada 1998, maka secara otomatis wakilnya BJ Habibie menjadi Presiden. Namun ketika Habibie berkuasa selama kurang lebih 18 bulan, MPR menolak laporan pertanggungan-jawab Habibie pada 20 Oktober 1999, sementara yang menjadi Ketua MPR saat itu adalah Amien Rais. 

Santer saat itu kalau Megawati Soekarno Putri akan terpilih sebagai Presiden RI ke 3, namun dihalangi isu gender. Gerakan poros tengah yang juga ada keterlibatan Amien Rais didalamnya, behasil menjadikan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur), lewat Pemilu 1999 yang dilakukan MPR/DPR sebagai Presiden RI ke 4, dan Megawati diposisikan sebagai wakilnya. 

Kepemimpinan Gus Dur masih berlangsung diantara tahun 1998-2004. Dalam perjalanannya, Gus Dur pun dimakzulkan di tengah jalan, dalam sebuah gerakan yang dipimpin Amien Rais. 

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001, maka secara otomatis pula Megawati menggantikan posisi Gus Dur sebagai Preaiden RI ke 5.

Sepatutnya Amien tidak perlu aneh dengan adanya pergantian Presiden di tengah jalan, karena dia sangat tahu sejarah dari setiap peristiwa tersebut, peranannya sangat kental dalam peristiwa sejarah itu. 

Ada anggapan di masyarakat, kalau ada peristiwa penggantian Presiden di tengah jalan, ditengarai pasti ada campur tangan Amien Rais, karena peristiwa seperti itu sangat erat kaitannya dengan Amien Rais. 

Apakah murni Amien Rais tidak menginginkan Jokowi mundur dari jabatan? Atau ucapan tersebut memberikan dimensi dan perspektif lain yang harus dicerna secara politis, sebagai ucapan bersayap yang penuh multitafsir? 

Dalam tafsir penulis, pernyataan Amien Rais tersebut semata-mata ingin mengubah citranya, yang selama ini dianggap sebagai tokoh pewayangan "Sengkuni", seorang tokoh yang digambarkan sangat licik, dan senang mengadu domba. 

Dia ingin memperlihatkan New Amien Rais yang "wise", yang sangat peduli dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa lagi dengan partai barunya nanti, dia tidak lagi ingin mencitrakan dirinya sebagai sengkuni, citra sengkuni cukup ada di PAN. 

Bayangkan dari sosok karakter yang hobi menggeruduk siapa saja yang tidak disukainya, tiba-tiba berubah menjadi sosok Amien Rais yang manis, yang tutur katanya berubah menjadi sangat bijak. 

Bahkan partai yang baru dibentuknya nanti akan berlandaskan pads Al Qur'an, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu seperti apa wujud partainya itu nanti. Yang jelas dia tidak ingin lagi disamakan dengan sengkuni. 

Ketua MPR Zulkifli Hasan "Lebay"

Sumber foto : Merdeka.com


Yang benar aja hanya karena Presiden Jokowi salah menyebutkan tempat kelahiran Bung Karno, dan kesalahan tersebut dianggap sebagai kesalahan yang Tak Termaafkan, memangnya seberapa besar dosa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi. Tuhan saja Yang Maha Kuasa lagi Maha Pengampun, masih bisa menerima Taubat Ummatnya, lah ini kita sama-sama manusia dan sama-sama memiliki peluang untuk melakukan kesalahan tidak bisa menerima permintaan maaf.

 Apa yang terkandung dalam ucapan Ketua MPR tersebut, apakah karena sekarang sudah merangkap menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), sehingga bahasa yang dipakai bukan lagi bahasa seorang Negarawan, tapi bahasa seorang politisi yang penuh dengan ambisi, ucapan tersebut bisa saja ditafsirkan secara miring, bahwa karena tak termaafkan maka Presiden Jokowi layak untuk dimakzulka, bukan begitu Pak Zulkifli Hasan.?
 
Apa yang bapak tahu tentang kelahiran Bung Karno itu sebenarnya, siapa yang paling tahu tentang riwayat kelahiran Bung Karno tersebut, saya pastikan tidak ada sekarang ini, karena memang sejak Orde Baru sampai sekarang tempat kelahiran Bung Karno itu sendiri masih simpang siur, lantas apa kepentingan Bapak selaku ketua MPR mengeluarkan statement seperti itu, kepentingan apa yang tersirat dari ucapan tersebut, jangan Lebay pak Zulkifli Hasan, mencari kesalahan orang lain itu mudah, ada saatnya nanti kesalahan kita pun terbuka secara terang benderang.

 Saya malah berpikir, seharusnya sebagai ketua MPR, Pak Zulkifli Hasan ikut mencairkan polemik yang tidak sehat tersebut, bukan malah turut menyulut api untuk membakar menjadi habis, jangan tempatkan posisi bapak sebagai Ketua Umum Partai dalam posisi bapak sedang menjalankan Tugas sebagai Ketua MPR, karena bahasa yang bapak pergunakan akan sangat berbeda saat bicara dalam kapasitas sebagai Ketua Umum Partai, dengan saat bapak sebagai Ketua MPR, jika tidak menyadari akan hal ini maka yang tersirat adalah kepentingan yang bersifat politis.

 Dalam situasi yang kurang menguntungkan bagi rakyat sekarang ini, ada baiknya para pejabat negara lebih bisa memelihara hatinya, tahu kapan bersikap sebagai seorang negarawan dan kapan pula harus bersikap sebagai pesuruh Partai, sebagai pesuruh partai boleh saja bersiasat untuk kepentingan partai, tapi dalam kapasitas sebagai pejabat negara, ya harus mampu memperlihatkan kepada rakyat pengabdiannya untuk bangsa dan negara.

 Tidaklah elok hanya kesalahan dalam menyebutkan nama tempat kelahiran Bung Karno, Presiden Jokowi disudutkan semua pihak, sementara kesalahan tersebut adalah merupakan warisan kesalahan sejarah yang tidak pernah tuntas diselesaikan, dan kesalahan sejarah adalah tanggung jawab dan kewajiban kita bersama untuk meluruskannya.

Sumber berita : http://m.merdeka.com/peristiwa/ketua-mpr-kesalahan-jokowi-soal-kelahiran-soekarno-tak-termaafkan.html

Bung Karno dalam Kebersahajaannya [Foto Eksklusif]


Jadi presiden nggak harus selalu melakukan hal-hal yg luar biasa…. justru kebesaran Bung Karno karena hanya melakukan hal-hal yang biasa….

lihatlah beberapa aktivitas Bung Karno dalam beberapa foto dibawah ini :
13463009411042182903
Foto koleksi Handogo Soekarno
13463010491393442934
Foto Koleksi Handogo Soekarno
Peristiwa diatas tentunya bukanlah sebuah kegiatan dalam rangka pencitraan, tapi sebuah aktivitas biasa yang sering dilakukan Bung Karno.
13463012131116802209
Foto koleksi Handogo Soekarno
Bung Karno bercengkrama dengan anak-anak Indonesia, semua terlihat natural tanpa ada rekayasa dan bukan dalam rangka pencitraan…
1346301352328378518
Foto koleksi Handogo Soekarno
1346301448550906395
foto Koleksi handogo Soekarno

13463016332140220700
Foto koleksi handogo Soekarno
Memang menjadi presiden tidak perlu selalu melakukan hal-hal yang luar biasa, kadang-kdang hal-hal yang biasa kalau dilakukan tanpa rekayasa, justeru akan terlihat luar biasa.
****
PINTAR saja TIDAK CUKUP…. dalam masa kekuasaannya yang relatip pendek (periode 5 th), seorang pemimpin dituntut pengorbanannya utk melakukan perubahan2 yg nyata bagi negara & bangsanya…
****
Semua foto diatas diambil dari : http://www.facebook.com/groups/11019138103/

Bung Karno Lolos dari Pembunuhan

Gerakan 30 September atau G-30-S, atau ada yang lebih suka menyebut Gerakan 1 Oktober atau Gestok, pada hakikatnya sama, yakni sebuah tragedi berdarah yang merenggut tujuh perwira TNI-AD. Catatan sejarah mengenai peristiwa kelabu itu, ditandai dengan episode sebuah aksi terkutuk yang diprakarsai Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, istilah G-30-S selalu diikuti dengan garis miring PKI.

 Berbagai publikasi mengenai perisitwa tersebut sudah banyak beredar. Bahkan, berbagai diskusi, seminar, sarasehan acap digelar. Khususnya menjelang akhir September. Serpihan sejarah bermunculan, mulai dari keterlibatan CIA hingga keterlibatan –langsung atau tidak langsung– mantan penguasa Orba, Soeharto. Dalam pada itu, beredar pula publikasi yang mencoba mengukuhkan stigma bahwa Sukarno juga telibat, langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tersebut.

 Yang pasti, pasca G-30-S, pasca Gestok, yang secara kasat mata membenturkan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal, berakibat pada upaya sistematis menjatuhkan kredibilitas Sukarno sebagai Presiden. Adapun tujuh perwira yang menjadi korban kebrutalan oknum pasukan Resimen Cakrabirawa itu, adalah Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.Panjaitan dan Lettu Pierre Tendean. Nah, tahukah Anda, bahwa di balik itu semua, sejatinya Dewan Revolusi juga mengancam nyawa Presiden Sukarno? Kesaksian ini diungkapkan Moch. Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop) Kabinet Dwikora.

Mengurai kesaksiannya ihwal peristiwa genting itu, sungguh laksana membayangkan sebuah lakon drama yang mencekam. Kisah bermula dari Rapat Teknik, 30 September 1965 malam di Istora Senayan, Jakarta. Sesuai jadwal, usai memberi pidato, Bung Karno kembali ke Istana, karena esok paginya, 1 Oktober 1965, ia harus menerima sejumlah tamu untuk urusan negara. Memang, dalam skenario gerakan, malam itu semua “objek” diatur sedemikian rupa supaya pada malam 1 Oktober 1965 ada di rumah masing-masing.

 Itulah mengapa, penculikan para jenderal berlangsung mulus, karena pada malam itu memang semua ada di rumah masing-masing. Bagaimana dengan Bung Karno? Inilah yang terkait erat dengan judul di atas… ya… terkait dengan ngambeknya Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno nan jelita yang berdarah Jepang itu. Syahdan, tanggal 29 September 1965 malam adalah giliran Bung Karno mengunjunginya di kediaman Wisma Yaso, sekarang Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto.

Namun karena kesibukan yang luar biasa, Bung Karno lupa tidak mengunjungi Dewi. Maka, Dewi pun ngambek dibuatnya. Nah, esok malamnya, 30 September 1965, Dewi mengajak Ny. Sjarief Thayeb, istri Menteri Perguruan Tinggi, bersenang-senang di klub malam Hotel Indonesia. Peristiwa itu diketahui oleh Letkol (Tit) Suparto. Dia adalah sopir, sekaligus orang dekat Bung Karno, khususnya pada hari itu.

Dalam perjalanan dari Istora Senayan menuju Istana, melalui obrolan ringan, Suparto melapor ke Bung Karno. “Bu Dewi ngambek lho pak….” Awalnya hanya pernyataan pancingan. Namun ketika Bung Karno merespons antusas, barulah Suparto melanjutkan, “Bapak kan kemarin harusnya mengunjungi Bu Dewi, tetapi Bapak tidak ke sana.” Atas laporan Suparto, Bung Karno makin antusias menyelidik dan mencari tahu cerita selanjutnya. “Yaaa… sekarang Bu Dewi sedang di kelab malam di Hotel Indonesia bersama Ibu Sjarief Thayeb.”

Spontan Bung Karno mengeluarkan perintah dadakan, dan hanya Suparto yang tahu perintah itu. Intinya, “Lekas kembali ke Istana. Tukar mobil dan tukar pakaian, langsung keluar lagi ke Hotel Indonesia, jemput Bu Dewi.” Itulah peristiwa 30 September 1965 malam. Sekembali ke Istana, Bung Karno bertukar pakaian, lalu keluar lagi bersama Suparto menjemput Dewi di Hotel Indonesia. Sesampai di pelataran parkir, Bung Karno menyuruh Suparto masuk, menjumpai Dewi dan memberi tahu ihwal kedatangannya menjemput.

 Demi mendapati kedatangan Suparto dan informasi yang disampaikan, Dewi pun bergegas keluar kelab malam dan menemui Bung Karno yang sudah menunggu di dalam mobil. Cerita berlanjut ke Suparto membawa pasangan Bung Karno – Dewi ke Wisma Yaso. Di sanalah Bung Karno menghabiskan malam berdua istrinya yang jelita. Kisah berlanjut pagi hari, ketika Brigjen Supardjo datang ke Istana hendak menjumpai Bung Karno.

Sebagai pentolan Cenko (Central Komando) PKI, Supardjo mendapat tugas untuk meminta persetujuan Bung Karno atas gerakan Dewan Revolusi yang menghabisi apa yang disebut Dewan Jenderal. Perintah Cenko PKI kepada Supardjo adalah, kalau Bung Karno menolak menandatangani persetujuan pembantaian Dewan Jenderal, maka Supardjo harus membunuh Bung Karno pagi itu juga. Seketika. Apa yang terjadi? Bung Karno tidak ada di Istana. Ajudan dan pengawal yang ada di Istana pun tidak tahu di mana Bung Karno berada. Bisa dimengerti, karena yang mengetahui peristiwa malam itu hanya Bung Karno dan Suparto, sopir dan orang dekat yang mendampingi Bung Karno 30 September 1965. 

Sementara itu, pada episode yang lain, Bung Karno bersama Suparto meninggalkan Wisma Yaso pagi hari hendak kembali ke Istana. Apa yang terjadi? Di luar Istana tampak keadaan yang mencurigakan, banyak pasukan tak dikenal. Pengawal spontan membelokkan arah mobil Bung Karno ke Slipi, ke kediaman istri yang lain, Harjatie. Dari Slipi itulah pengawal dan ajudan berkoordinasi mengenai situasi genting yang sedang terjadi.

 Satu hal yang bisa dipetik dari peristiwa 30 September 1965 malam, adalah, kalau saja Dewi tidak ngambek…. Kalau saja Suparto tidak melaporkan kepada Bung Karno ihwal ngambeknya Dewi…. Kalau saja Bung Karno tidak berinisiatif menjemput Dewi di Hotel Indonesia dan pulang ke Wisma Yaso…. Bung Karno pasti sudah ditembak mati Supardjo. Mengapa? Semua kalkulasi tidak akan menyimpulkan Bung Karno tunduk pada Supardjo dan menandatangani persetujuan gerakan Dewan Revolusi.

Dan ketika Bung Karno menolak tanda tangan, sudah jelas apa yang terjadi, Supardjo harus menembak mati Bung Karno saat itu juga. Bagaimana rangkaian kisah di atas tersusun? Adalah Moch. Achadi, yang secara kebetulan adalah paman dari Sutarto, sopir Bung Karno pada 30 September 1965, sehingga ia mengetahui dari Sutarto langsung peristiwa tadi. Kemudian, secara kebetulan pula, ketika Achadi ditahan penguasa Orde Baru, ia berdekatan dengan sel Brigjen Supardjo yang bertugas mengeksekusi Bung Karno seandainya tidak memberi restu kepada Dewan Revolusi. Begitulah sejarah terbentuk. Begitulah kebenaran mengalir menemukan jalannya sendiri. --------------------------------------------------------

Sumber tulisan dari :
https://www.facebook.com/photo.php_?fbid=3968025set679&set=a.769981149274.105859.100000488266800&type=3&theater

Misteri Diseputar Peristiwa G 30 S PKI



Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan G 30 S PKI, sebuah isu yang mencuat dengan memanfaatkan momentum Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang cukup dominan saat itu, begitu seram kedengarannya karena secara politis gerakan ini dianggap berbahaya dan musuh masyarakat, juga doktrinnya Partai Komunis Indonesia (PKI) itu Partai terlarang, sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang tidak berdosapun terfitnah sebagai penganut Partai terlarang tersebut.Baca Ini

Doktrin ini dihembuskan sampai Rezim Orde Baru berkuasa, siapapun yang tidak termasuk dalam Gerbong Orde Baru maka kalau salah faham akan di Cap sebagai anggota organisasi terlarang, ini bagian dari trik politik untuk memperkuat kekuasaan, kalaulah dikatakan Fitnah itu Dosa maka betapa banyak dosa orang-orang Rezim Orde Baru tersebut, karena begitu banyak rakyat yang tidak berdosa menjadi korban fitnah sebagai PKI. Untuk kepentingan Politik hal seperti itu dianggap sesuatu yang biasa, yang penting tujuan yang diinginkan tercapai.

Momentum Gerakan 30 September ini pula merupakan sebuah gerakan penumpasan PKI, jika ada yang ditumpas habis maka tentunya ada yang menjadi Pahlawan Penumpasnya, gerakan ini merupakan gerkan politik yang sangat terencana secara sistematis, namun sejarah tidak bisa mencatat sebagaimana mestinya, bagi penguasa sejarah bisa diciptakan sesuai dengan kehendaknya, banyak sejarah yang diajarkan tidak mengikuti kebenarannya, karena semua yang ada dikuasai penguasa, bertentangan dengan penguasa maka akan di cap anggota PKI, hal inilah yang membuat rakyat tak lagi berani buka suara.

Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :

1. Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.
2. Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto
3. Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan mencegah Indonesia menjadi basis komunisme
4. Keempat, merupakan skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno
5. Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD
6. Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 jiwa telah menjadi korban, tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.

Pada catatan sejarah yang ada, banyak para Jenderal yang mati karena kekejaman PKI, seperti itulah sejarah yang tertulis, tapi seperti apakah kebenaran sejarah sesungguhnya ? Hal inilah yang sangat susah untuk diungkap tapi sejarah tetaplah sesuatu realita yang cepat atau lambat akan tetap terungkap.

Sumber tulisan dikutif dari berbagai sumber buku maupun media online yang berupa catatan sejarah G 30 S PKI
Sumber foto: http://bossgahutagalung.files.wordpress.com/2010/09/penumpasan-pki-g-30-s.jpg

Peristiwa Dibalik Proklamasi Kemerdekaan RI




Tujuh belas Agustus 2012 adalah merupakan Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tanggal tersebut, 67 tahun yang lalu merupakan hari paling bersejarah bagi Bangsa dan Negeri ini, karena di hari itulah merupakan awal dari “Kebebasan” rakyat Indonesia dari segala penjajahan dan sekaligus penanda awalnya sebuah perubahan yang cukup berarti bagi bangsa ini.

Namun, ada beberapa hal menarik di seputar hari Kemerdekaan tersebut yang sayang jika belum Anda ketahui. Dari beberapa data yang saya dapat, saya hanya menuliskannya kembali sebatas yang perlu diketahui, dan saya edit ulang sesuai dengan momentum memperingati Hari Kemerdekaan  saja, hal-hal lain yang tidak ada kaitannya saya tidak cantumkan disini, mengingat hal tersebut tidak ada korelasinya, beberapa hal yang menjadi Kronik Dibalik Detik-Detik Proklamasi tersebut sebagai berikut:

1. Bung Karno Sakit beberapa saat menjelang Kemerdekaan di Proklamirkan

Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sebelum pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala Malaria Tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah-tengah  puasa Ramadhan. Baca cerita sebelumnya “Konflik” Menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI

“Pating greges”, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.

Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!

3. Bendera Merah Putih di buat dari Seprai

Berdasarkan data yang saya dapat, Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!, Bendera tersebut di Jahit tangan oleh Ibu Fatmawati, Isteri Bung Karno (ini tambahan dari saya), karena pada data tersebut tidak disebutkan siapa yang menjahitnya.

4. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik olehSajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

5. Negatif Foto Di Tanam di Bawah Pohon

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer,fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

6. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi.

Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya.”You are a liar !” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru.

7. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar merupakkan karya asli WR Supratman, ataukah ‘terinspirasi’ oleh lagu Perancis, “Les Marseilles”, yang memiliki nada-nada yg sangat mirip.

8. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada Bung Karno dan Bung Hatta.

9. Indonesi Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

Begitulah Kronik diseputar menjelang Detik-detik Proklamasi, yang mungkin luput dari pengetahuan kita. Tulisan ini sengaja saya susun ulang dalam rangka Meperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 -17 Agustus 2012, semoga saja kita bisa mengenang kembali peristiwa sakral tersebut, dan beberapa hal yang terjadi di seputar peringatan Hari Kemerdekaan tersebut. Kadang kita tidak mengingat betapa peristiwa tersebut sangat dinantikan selama 300 tahun, dan sekarang kita menikmatinya, adakah kita juga memaknai susah payahnya perjuangan para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Republik ini, apa yang sudah kita lakukan untuk republik ini.

Kita hanya tinggal mengisi kemerdekaan ini, dan mempertahankannya agar kita tidak lagi menjadi bangsa yang terjajah, baik secara sosial, budaya, politik maupun ekonomi oleh bangsa manapun. Komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa di tawar lagi, menghindari ketertindasan dari bangsa asing adalah komitmen rakyat dan pemimpin bangsa ini. Indonesia sekarang dan Masa Nanti harus memeiliki pemimpin yang yang mampu berkomitmen untuk tidak tunduk pada kepentingan Asing.

Point-point penting dari tulisan ini saya copas dari http://inpogue.com/rahasia-17-agustus-1945-yang-jarang-diketahui-orang, karena merupakan data otentik, hanya saja saya menambahkan pada hal-hal saya anggap kurang, tapi penting untuk di tambahkan.

Bung Karno dan Konflik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI



Banyak peristiwa sejarah yang cukup penting terjadi menjelang Proklamasi RI tahun 1945, tapi dalam tulisan ini saya mengkhususkan untuk menulis tentang sisi pemuda, tentang patriotisme pemuda indonesia di saat itu yang menurut saya punya peranan yang cukup penting di dalam memproklamasikan Indonesia. Pada setiap jamannya Pemuda selalu menjadi inspirator Pembawa Perubahan, dalam setiap negara setiap perubahan selalu ada pemuda yang terlibat. Makanya peran pemuda dalam sebuah negara itu mempunyai arti yang sangat penting, kualitas pemuda pada suatu negara akan sangat menentukan kualitas suatu negara di masa depan.

 Jakarta kala itu sangat tegang. Golongan tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat sebaiknya kemerdekaan dicapai tanpa pertumpahan darah. Ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda sudah tidak sabar lagi. Kemerdekaan harus segera diproklamasikan tanpa bantuan dan melibatkan bangsa asing mana pun. Kelompok pemuda malah menganggap Bung Karno dan Bung Hatta kejepang-jepangan, padahal ini adalah strategi Diplomasi yang harus dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta.

 Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8) memproklamasikan kemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi PPKI esoknya akan rapat di Jakarta.

Bung Karno dan Bung Hatta menginginkan kemerdekaan ini bisa dicapai dengan cara negosiasi dengan jepang, namun dengan cara demikian Bung Karno dan Bung Hatta di cap ke jepang-jepangan oleh Syahrir. Perbendaan pandangan antara Bung Syahrir dengan Bung Karno dan Bung Hatta, tidaklah ditanggapi secara serius oleh Bung Karno, tapi dengan cara itulah Bung Syahrir memanasi Pemuda agar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta segera memerdekakan Indonesia. Apa yang dilakukan Bung Syahrir adalah demi kemerdekaan Indonesia, hanya saja caranya dipandang oleh Bung Karno dan Bung Hatta terlalu radikal, Bung karno dan Bung Hatta tidak menginginkan adanya pertumpahan darah.

Adalah AM Hanafi, seorang tokoh Angkatan ‘45 dan mantan dubes RI di Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, ”Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00 beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Kami pikir keduanya diiming-imingi Jepang dengan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari. Janji yang kami anggap menghina bangsa Indonesia. Kami para pemuda tidak mau kemerdekaan hadiah.” Ketika Bung Karno dan Bung Hatta hendak masuk mobilnya, Chaerul Saleh menghampiri mereka, dan berkata, ”Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.” Bung Karno yang tidak senang didesak mengatakan, ”Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai mengawasi kita.” Lalu ia masuk ke mobil di mana Hatta sudah berada di dalamnya.

Ketegangan antara Pemuda Indonesia dengan Bung Karno dan Bung Hatta ini memang hanya disebabkan perbedaan persepsi anatar generasi, para pemuda menginginkan sesuatu segera terwujud, sementara Bung Karno dan Bung Hatta masih menginginkan meraih kemerdekaan dengan cara yang damai tanpa pertumpahan darah, makanya ketika Wikana mengancam, ”Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.” Bung Karno pun naik pitam, ”Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.” Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu. Namun para pemuda tidak terus putus asa, tetap berusaha untu memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Ancaman para pemuda rupanya bukan omong kosong.

Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan. ‘Perdebatan’ kelompok muda dan tua terjadi kembali pada menit-menit menjelang proklamasi. Meski proklamasi diputuskan akan dibacakan pukul 10.00 di kediaman Bung Karno, para pemuda tetap gelisah. Mereka khawatir tentara Jepang akan menggagalkannya.

Mereka mendesak Bung Karno segera membacakannya tanpa menunggu Bung Hatta. ”Saya tidak akan membacakan teks proklamasi kalau Bung Hatta tidak ada. Jika Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri,” kata Bung Karno dengan lantang. Tak lama kemudian terdengar teriakan, ”Bung Hatta datang… Bung Hatta datang….” Tepat pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan RI pun diproklamasikan.

 Jadi sangat jelas peran pemuda Indonesia saat itu demi untuk kemerdekaan Indonesia, andil pemuda indonesia cukup besar dalam detik-detik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, namun peran pemuda ini hanya ada tercatat dalam sejarah, nama-nama mereka jarang sekali disebutkan pada setaiap acara-acara proklamsi kemerdekaan. Setelah kemerdekaan juga peranan pemuda dalam membawa perubahan bangsa sangatlah menonjol, saat Bung Karno turun juga, pemuda cukup berperan dalam memberikan tekanan-tekanan, begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru Lengser.

Jadi kalau Bung Karno pernah mengatakan Beriakan aku pemuda, maka aku akan mengguncangkan Dunia. Jadi begitu bangganya Bung Karno pada pemuda Indonesia. Akankah Pemuda Indonesia terus membuat sejarah ? Pastinya akan terus, karena pemuda itu sangat identik dengan semangat perubahan. SALAM MERDEKA….

 Tulisan ini sengaja saya tuliskan untuk mengenang kembali berbagai peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini saya kutip dari berbagai sumber, baik dari buku, media on line juga dari blog pribadi saya. Semoga saja tulisan ini bisa menggugah semangat kaum muda, betapa pentingnya peranan kaum muda terhadap sebuah perubahan sebuah bangsa.

Hoegeng Bukan "Polisi Tidur" tapi Polisi Jujur




Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan hari Ulang Tahunnya 1 Juli 2012 yang baru lalu. Kalau mengingat perayaan HUT Polri ini, ada sejarah yang cukup memilukan bagi seorang Mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Imam Santoso, karena di Era kepemimpinan Soeharto, Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli.

Padahal sebagai seorang mantan Kapolri, sudah sewajibnya Hoegeng menghadiri perayaan Hut Bhayangkara seperti umumnya mantan Kapolri lainnya, namun rupanya itu menjadi pengecualian bagi Hoegeng, sehingga setiap perayaan Hut Bhayangkara Hoegeng tidak pernah mendapat undangan untuk menghadiri perayaan tersebut, namun Hoegeng menerima kenyataan itu dengan kelapangan hati, tidak pernah merasa dikucilkan dari korp Kepolisian.
Sebagai seorang polisi, soal kejujuran, polisi mana yang bisa menandingi mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santosa. Selama karirnya di kepolisian, Hoegeng bekerja keras mengungkap berbagai kasus besar. Dia juga yang membersihkan polisi dari korupsi dan suap.

Sikap seperti yang dimiliki Hoegeng itulah yang tidak diwarisi oleh polisi dijaman sekarang, sehingga sosok Hoegeng menjadi simbol polisi yang jujur yang penuh dedikasi dan integritas yang pernah dimiliki Kepolisian Republik Indonesia.

Wajar saja kalau Hoegeng dikucilkan oleh Soeharto, Hoegeng adalah tokoh Petisi 50. Kelompok itu dianggap menentang Soeharto. Anggota Petisi 50 di antaranya adalah Jenderal Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, Mohammad Natsir, dan Syafruddin Prawinegara. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980.

Tentang sosok Pak Hoegeng ini saya juga punya kenangan diwaktu masih kecil, saya sering menonton acara Irama Lautan Teduh di TVRI, yang mana beliau dan isterinya selalu mengisi acara tersebut, kalau gak salah seminggu sekali, dengan Group musiknya Hawaian Senior. Namun lagi-lagi tayangan ini pun dicekal Soeharto, karena ketidaksenangan Soeharto pada Hoegeng.

Tidak pernah jelas mengapa acara tersebut dicekal. Alasan “resminya” karena acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga pencekalan itu berkaitan dengan keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi 50” yang berisi kritikan keras terhadap Pak Harto.

Kembali pada pelarangan kehadiran Hoegeng di acara Hut Bhayangkara, menjelang akhir Pemerintahan Orde Baru, di tahun 1997, Kapolri Jenderal Dibyo Widodo datang ke kediaman Hoegeng. Dibyo mengundang Hoegeng untuk menghadiri peringatan HUT Bhayangkara 1 Juli 1987. Dibyo yang tahu Hoegeng tak punya mobil pun memberikan hadiah sebuah Mitsubishi Lancer bernomor B 733 DW. Dengan hati-hati Dibyo meminta Hoegeng menerima hadiah itu. Dia tahu Hoegeng selalu menolak pemberian mewah.

“Ini pemberian saya kepada Pak Hoegeng, sebagai rasa terima kasih saya kepada Kapolri pertama lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Jadi ini harap diterima karena saya berterima kasih sekali kepada bapak,” ujar Dibyo seperti ditulis dalam buku ‘Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-’ terbitan Bentang.

Maka sejak itu, Hoegeng kembali hadir setiap tanggal 1 Juli di HUT Bhayangkara. Pak polisi jujur itu kembali ke tengah barisan korps baju coklat yang sangat dicintainya.

Hoegeng terakhir menghadiri HUT Polri tahun 2001, sebelum meninggal tahun 2004.




Sumber tulisan :


Bangsa Asing tidak "Lebih Unggul" dari Bangsa Kita


Kenapa Bangsa ini lemah, kenapa Bangsa ini begitu terpesona oleh kehebatan bangsa asing, sehingga tersugesti, kita hanya bisa hidup dibawah bayang-bayang bangsa asing.


Sejarah mencatat, para pendiri Bangsa ini berusaha sekuat tenaga menghilangkan sugesti seperti itu, mereka sadar betul kalau bangsa ini sudah di Injeksi Psikologis oleh bangsa kolonial pada waktu itu, bertahun-tahun bangsa Indonesia hidup dibawah pesona kolonial, sampai-sampai percaya pada kelumpuhannya dan betapa perlunya ada penjajah untuk membimbingnya.


Kesadaran seperti ini menjadi pemikiran Bung Hatta, untuk memerdekakan bangsa ini dari Injeksi psikologis bangsa kolonial, seperti yang tertuang dalam: “Nukilan pembelaan bung Hatta di depan pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928”.


Sistem kolonial Belanda yang bertolak dari pendirian bahwa Indonesia harus terus menerus merupakan embel-embel daripada “Firma Nederland” tidaklah cocok untuk memupuk gairah kemerdekaan pada warga jajahannya yang bumiputera itu. Dari hari kehari diperingatkan ke kaum bumiputera bahwa mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk memimpin, mereka tidak cakap untuk mengambil inisiatif, sehingga mereka ditakdirkan untuk sejak dari kecilnya bekerja dibawah pimpinan bangsa Eropa. Injeksi ini melemahkan urat saraf orang-orang Indonesia yang lemah wataknya. Dan keragu-raguan orang-orang Indonesia akan kemampuan sendiri oleh penjajah dipupuk terus menerus dengan cara apa saja


Seperti inilah pemikiran Bung Hatta terhadap bangsanya, berdasakan pemikiran inilah perlahan-lahan menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa kita sudah ter Injeksi secara psikologis oleh bangsa kolonial, dan bangsa ini harus segera terlepas dari segala bentuk sugesti, bahwa bangsa Indonesia itu lemah.


Apa yang kita alami saat ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dihadapi bangsa ini diwaktu yang lalu, ketergantungan kita kepada bantuan Asing begitu kuat, sehingga kita kurang memikirkan potensi sendiri, tidak pernah mau berusaha untuk bangkit,membangun semua kekuatan yang ada.


Kalau dulu bangsa ini terinjeksi secara psikologis, sekarang bangsa ini di Injeksi secara Finansial oleh bangsa asing, sehingga lebih senang hidup dibawah bayang-bayang bangsa asing, seperti yang Bung Hatta bilang, “Kelemahan bangsa ini terletak pada Wataknya”, makanya Bung Karno pun pernah menuangkan gagasan “Nation and Character Building”.


Kesadaran untuk “Indonesia Medeka” , merupakan dorongan yang kuat bagi para pendiri bangsa ini, tidak saja memerdekakan dari penjajahan, tapi juga memerdekakan bangsa ini dari kelemahan dan kebodohan, betapa besar jasa mereka terhadap bangsa ini, tapi kenapa sekarang kita kembali menjadi bangsa yang bodoh dan lemah ? Tak berdaya mengahadapi tekanan-tekanan dari negara-negara yang men-Injeksi secara Finansial ? Kenapa kita tidak bergotong royong membangun kekuatan sendiri, membangun potensi bangsa, meningkatkan pendidikan, membangun moral bangsa yang sudah porak-poranda ?


Karena kita sudah terbius oleh pesona kehidupan yang serba ada, sehingga tidak lagi mau berusaha, pola hidup yang senang berpoya-poya, sehingga lupa kalau kita ini adalah bangsa yang tidak berdaya dan lemah wataknya.


“Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah Kemerdekaan Tanah Air. Dengan carademikian kita memupuk warganegara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadian yang tertinggi bagi Tanah Air kita” (Bung Hatta)



Sumber tulisan :

Buku Mahakarya SOEKARNO – HATTA tonggak pemikiran Bapak Bangsa

Editor :Suwidi Tono

Pesan Moral dalam Film "Lewat Jam Malam"




“Seringkali buah dari revolusi itu yang menikmati bukanlah pejuang revolusi, tapi para penghianat revolusi..sementara pejuang sesungguhnya lebih hanya menghitung dosa-dosa”

Pesan Moral yang disampaikan Asrul Sani lewat Skenario “Lewat Jam Malam” sangat kuat, sehingga pesan itu masih relevan sampai sekarang..yang diuntungkan oleh sebuah Revolusi hanyalah para penghianat Bangsa..Pejuang Revolusi hanyalah Martir..

Hari Minggu lalu (24/6/21012), saya dan keluarga menyempatkan diri untuk menonton di Sineplex XXI, Plaza Senayan Film Karya Sineas Indonesia, Usmar Ismaiil tahun 1954 ini , yang mendapat Apresiasi Sutradara Hollywood, Martin Scorses, ssehingga direstorasi untuk bisa disajikan kembali kekhalayak penonton film indonesia. Setelah direstorasi selama kurang lebih setahun (2011-2012), film ini dutayangkan di Seksi Cannes Clasic, Festival Film Cannes, dan kemudian diedarkan kembali secara terbatas di beberapa bioskop Indonesia.


Sinopsis cerita :

Mengisahkan seorang bekas pejuang, Iskandar (AN Alcaff) yang kembali ke masyarakat, dan coba menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah asing baginya. Pembunuhan terhadap seorang perempuan dan keluarganya atas perintah komandannya di masa perang terus menghantuinya.

Tepat pada jam malam yang sedang diberlakukan, ia masuk rumah pacarnya, Norma (Netty Herawati). Itu awal film yang masa kejadiannya hanya dua hari. Keesokannya ia dimasukkan kerja ke kantor gubernuran. Tidak betah dan malah cekcok. Dengan kawan lamanya, Gafar (Awaludin), yang sudah jadi pemborong, ia juga tak merasa cocok.

Ia masih mencari kerja yang sesuai dengan dirinya. Bertemu dengan Gunawan (Rd. Ismail), ia semakin muak, melihat kekayaan dan cara-cara bisnisnya. Apalagi setelah tahu, bahwa Gunawan merampas harta perempuan yang ditembak Iskandar itu lalu dijadikan modal usahanya sekarang. Kemarahannya memuncak. Ia lari dari pesta yang diadakan pacarnya untuk dirinya dan pergi mencari Gunawan ditemani bekas anak buahnya, PUJA (Bambang Hermanto), yang jadi centeng sebuah rumah bordil.

Penghuni rumah itu adalah Laila (diperankan oleh Dahlia), pelacur yang mengimpikan kedamaian sebuah rumah tangga yang tak kunjung datang. Lalu dia pulang ke pesta, tapi ia melihat polisi datang. Ia curiga dirinya dicari-cari. Maka lari lagilah dia sampai kena tembak oleh Polisi Militer, karena melanggar peraturan (lewat) jam malam, justru di saat dia menghampiri kembali kekasihnya (Netty Herawati), satu-satunya orang yang mau mengerti dirinya.

Mungkin bisa disebut karya terbaik Usmar Ismail. Skenario yang ditulis oleh Asrul Sani, sarat dengan pesan moral dan  kritik sosial cukup tajam, mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca perang. Maka di akhir film dibubuhkan kalimat:

“Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.”

Kelemahan film ini mungkin hanya terletak pada akhiran film yang berpanjang-panjang, dan pengungkapan kegelisahan tokoh utamanya yang kurang subtil dan terlampau fisik. Secara keseluruhan film ini digarap sangat baik oleh Usmar ismail.

Dalam keterbatasan peralatan dan teknologi, tapi sineas kita di Th 1954 sdh bisa bikin film yg bagus..jadi sayang banget kalo sineas sekarang tidak bisa berkembang ditengah tehnologi yg sdh canggih..

Revolusi Indonesia "Belum Selesai"



Lanjutkan Cita-cita Kemerdekaan

Banyak sekali isyarat yang diberikan Bung Karno dari ucapan-ucapannya, bahwa “Revolusi Indonesia belumlah selesai,” perjuangan bangsa ini masih jauh, dan masih banyak rintangan yang akan dihadapi oleh bangsa ini. Ucapan-ucapan ini tentunya berguna untuk memotivasi bangsa Indonesia agar tidak terlena dengan kemerdekaan yang sudah dicapai. Seperti yang pernah beliau ucapkan :

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong. Revolusi Indonesia belum selesai.”

Ada kekuatiran Bung Karno terhadap bangsa ini, yakni tentang kurang percaya dirinya bangsa ini, dan pernyataan itu bukanlah omong kosong. Apa yang pernah dicanangkan beliau tentang Gerakan Berdikari ( Berdiri diatas Kaki Sendiri), adalah sebuah motivasi untuk memandirikan bangsa, melepaskan bangsa ini dari segala ketergantungannya pada bangsa asing. Ada satu Slogan yang sering beliau ucapkan terdengar lucu tapi penuh motivasi untuk membangkitkan semangat, yaitu:

“Malaysia kita ganyang, Inggris kita linggis, dan Amerika kita setrika.”

Kalau kita mengenang kembali ucapan-ucapan yang pernah beliau kemukakan, yang kita baca dari lembaran-lembaran sejarah dimasa lalu, tentunya kita akan senantiasa mengenang kebesaran beliau, dan mengingat jasa beliau. Tapi tidaklah cukup kalau hanya sekedar mengingatnya, tapi perlu juga mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dan berusaha untuk mengaplikasikannya dalam berbagai kesempatan, karena apa yang sudah Bung Karno lakukan barulah sebuah awal Revolusi, maka beliau mengatakan Revolusi Indonesia Belum Selesai.

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”(Bung Karno)

Putra Sang Fajar itu meninggalkan berbagai kenangan bagi Bangsa ini, sejarah Indonesia tidak terlepas dari sejarah Perjuangan Bung Karno, bahkan Indonesia pun tidak bisa dipisahkan dari Nama Besar Ir. soekarno. Hari ini 42 tahun yang lalu, 21 Juni 1970, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Gator Soebroto, pukul 7 pagi..Indonesia pun Berduka.

Refleksi 42 tahun wafatnya Bung Karno

Selamat Jalan Bung Besar…Pahlawan Besar…Bapak Bangsa Indonesia
Jasamu selalu kami kenang.

Ini alasan Ali Sadikin Mendirikan Taman Ismail Marzuki



“Semua itu takkan terjadi tanpa Ali Sadikin. Ia penguasa yang paling unik. Kalau dikritik tak tersinggung, malah belajar. Yang paling berjasa dalam pembentukan Pusat Kesenian Jakarta tentulah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin,”(Arif Budiman)

Sebelum diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Soekarno, Ali Sadikin merupakan seseorang yang telah menduduki kursi Menteri, Menko dan Deputi Menteri Urusan Ekuin. Karena kedudukannya itu, ia banyak berkeliling ke berbagai kota mancanegara dan melihat adanya pusat kesenian di berbagai negara modern.

Berbekal petualangannya itu,  maka ketika beliau menjabat sebagai Gubernur DKI timbullah inspirasinya untuk membangun pusat kesenian di Jakarta yang diungkapkannya awal tahun 1968, saat meresmikan pemakaian kembali Balai Budaya yang merupakan tempat berkumpulnya seniman-seniman Jakarta di Jl Gereja Theresia.

Begitu dekat dan cintannya Bang ali dengan kesenian dan seniman pada saat itu, Bang ali melihat Balai Budaya sebagai satu-satunya wadah para seniman Indonesia di DKI Jakarta saat iitu, tak lagi cukup untuk menampung para seniman untuk berkreatifitas dan menuangkan gagasan seninya, maka terpikirkan oleh beliau untuk membangun suatu wadah baru yang lebih besar dan mampu untuk menampung berbagai hasil karya seni para seniman indonesia di DKI Jakarta.

Para seniman “dikumpulkan” di sebuah tempat dengan satu tujuani: memajukan seni dan kebudayaan. Bang Ali lantas memerintahkan stafnya untuk mencari sebuah kawasan yang ideal sebagai Pusat Kesenian Jakarta. Akhirnya, ditemukan sebuah areal di Jl. Cikin 73, Jakarta.

Setelah tempat ditemukan, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada seniman untuk memikirkan perencanaan dan konsep selanjutnya. Pada periode 1968, secara intens terjadi pertukaran pikiran soal seni dan budaya terjadi di Kantor Harian KAMI, tempat Gunawan Mohamad bekerja dan biasa disinggahi seniman bersama budayawan lain dan aktivis 66. Juga pertemuan selanjutnya di pondokan Salim Said (wartawan Angkatan Bersenjata) Jl. Matraman Raya 51, yang juga sering dikunjungi oleh Arifin C. Noer (Almarhum dulu wartawan di Pelopor Baru), Gunawan Mohamad dan Ed Zulverdi (keduanya wartawan di harian KAMI) juga Sukardjasman (wartawan Sinar Harapan). Saat itu, konsep semuanya diketik oleh Arifin C. Noer di kamar kerja Salim Said dan diserahkan oleh Christianto Wibisono kepada Bang Ali.

Akhirnya tanggal 10 November, 43 tahun lalu, di sebuah tempat seluas kurang lebih 8 hektare, dulu masih bernama Jalan Raden Saleh dan kemudian dijadikan kebun Binatang Cikini (sebelum pindah ke Ragunan) akhirnya menjadi sejarah sebuah gedung pusat kesenian. Inilah sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Pasalnya, tempat nongkrongnya seniman di Pasar Senen atau Balai Budaya tak bisa dipakai lagi, karena perpecahan ideologi politik. Sejak itu seniman pun kehilangan tempat “pertemuan”. Maka jadilah TIM sebagai wadah baru bagi seniman indonesia di DKI Jakarta.

Bagi pecinta dan pelaku seni, nama Taman Ismail Marzuki (TIM) di bilangan Jl Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat, bukanlah tempat yang asing. Nama tempat yang diambil dari nama komponis asal Betawi Ismail Marzuki itu, bahkan belakangan semakin lekat di kalangan pecinta seni karena kehadiran sejumlah bangunan pendukung lainnya seperti, Planetarium, Graha Bakti Budaya, Pusat Sastra HB Jassin, Cineplex 21 serta Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Jadi sangatlah disayangkan apa bila Pusat Sastra HB Jassin, yang sekarang dikenal dengan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, tidak bisa dikelola dengan baik oleh Pemerintah DKI, hanya dikarenakan tidak adanya ketersediaan dana untuk dialkosikan bagi operasional PDS tersebut, padahal PDS merupakan asset Pemda DKI juga Bangsa Indonesia yang sangat berarti keberadaannya.
Dengan rasa cinta yang besar terhadap kesenian, Bang Ali berupaya membangun Pusat Kesenian Jakarta dengan berbagai fasilitasnya, tapi kenapa sekarang Pemerintah yang meneruskan apa yang sudah dibangun oleh Bang Ali, tidak mampu untuk merawat dan melestarikannya. Kalau membangun dan membuat gagasan yang besar dan bermanfaat saja kita tidak mampu, kenapa kita tidak berusaha untuk merawat dan menjaganya dengan sebaik mungkin.



ilustrasi foto : google image



Cara Bung Karno Memikat Wanita



Bung Karno  dikenal sebagai penakluk wanita, mempunyai berbagai cara dan trik untuk menaklukkan  wanita. Sebagaimana kita ketahui beliau sembilan kali menikah, dan kesemua istrinya dinikahinya secara sah, dengan mudah wanita takluk padanya. Sebenarnya apa rahasia Soekarno? Mengapa wanita selalu terpikat padanya?
munkin kita berpikir wajar saja kalau seorang Presiden mudah untuk memikat wanita, dan wanita mana sih yang tidak terpikat dengan laki-laki yang memiliki jabatan dan kekuasaan. pendapat ini tidaklah salah, tapi daya pikat Bung Karno bukanlah karena itu saja.

Seperti yang diceritakan orang kepercayaan dan Mantan Ajudan Bung karno, Bambang Widjanarko menceritakan Bung karno memang jagoan soal wanita. Kharisma Soekarno ditambah intelektualitas yang tinggi, membuat wanita-wanita bertekuk lutut.

"BK (Bung Karno) benar-benar dapat disebut jagoan. Terhadap setiap wanita yang sedang dihadapinya, dia selalu dapat mencurahkan perhatiannya kepada wanita itu. Sehingga wanita tersebut merasa bahwa dia satu-satunya wanita yang paling dicintai atau dihargai BK," tulis Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia.

Sebagai seorang laki-laki Bung karno bersikap gallant atau sopan dan selalu hangat pada setiap wanita. Tak peduli wanita itu tua atau muda, begitulah cara Bung karno menghargai setiap wanita. Bung Karno juga  tak segan-segan mengambilkan minum sendiri untuk tamu wanitanya.
Sikap-sikap yang diperlihatkan Bung Karno seperti itulah yang menjadi daya pikat beliau, dan membuat para wanita merasa dihargai, sehingga menimbulkan rasa simpati terhadap beliau. Bung Karno juga selalu membantu memegang tangan wanita, jika wanita itu keluar mobil. Dia juga mengumbar pujian pada wanita. Hal ini yang selalu membuat para wanita tersanjung.

Pujian seperti "Alangkah serasinya kain kebaya yang anda pakai," atau "Nyonya kelihatan lebih muda dengan tatanan rambut baru itu," sering terdengar dari mulut Bung Karno.
Dalam berbagai kunjungannya  di Eropa dan Amerika, Bung Karno sering sekali mendapat pujian dari para wanita. Mulai dari politikus wanita, hingga artis sekelas Marilyn Monroe.

"Your President is real gentleman," ujar Bambang menirukan pujian para wanita itu.
Jadi tidak heran kalau di tanah Air juga Bung Karno begitu dekat dengan artis Indonesia, baik Bintang Film mau pun artis penyanyi. Bahkan beberapa artis yang memliki nama yang kurang bagus dimata beliau diganti namanya dengan nama yang Sangat Indonesia. Seperti Lience Tambayong beliau ganti namanya menjadi Rima Melati, bahakan nama Titiek Puspa juga merupakan pemberian beliau, juga beberapa artis lainnya.

Berdasarkan penuturan Bambang lagi, akibat lagaknya seperti Arjuna itu pula Soekarno sering mendapat masalah dengan wanita, dan kita ketahui Bung Karno tidak mudah mempunyai empat istri sekaligus dan semuanya minta menjadi nomor satu. Bu Famawati rela meninggalkan Istana karena tidak bisa menerima kondisi tersebut.

"Itulah BK sang arjuna yang dalam hidupnya terus terlibat persoalan wanita dan secara berani menerapkan politik 'vivere pericolozo' dalam soal asmara," kenang Bambang Widjanarko.