Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah. Tampilkan semua postingan

Bung Hatta : Pemuda Indonesia dan Politik




“Sejak dari usia kecil, Pemuda Indonesia membawa sepotong pengalaman kolonial yang dipikulnya sepanjang hidupnya. Hanya mereka yang memikirkan masa depannya sendiri, kebahagiaannya sendiri, dan bersedia semua cita-cita sajalah yang mau melupakan semua itu, dan demikian memupuk moral-budak dalam diri mereka”

Ucapan ini di sampaikan Bung Hatta dalam pembelaannya, di pengadilan Den Haag (9 Maret 1928). Ucapan ini merupakan penggambaran beliau terhadap semangatnya pemuda indonesia yang ingin melepaskan diri dari kungkungan penjajah, sejak dari usia kecil pemuda indonesia sudah terbiasa dengan iklim politik, berpikir dan berjuang semata-mata untik Indonesia merdeka, melepaskan cita-cita pribadi demi kepentingan kemerdekaan indonesia.
Tentunya pandangan Bung Hatta yang saya maksudkan bukanlah pandangan umum pemuda indonesia secara keseluruhan. Pada masa itu Pemuda Indonesia mengenal politik sudah dari remaja, jadi sangat wajar jika para pemimpin dimasa itu masih muda-muda. Loyalitas dan kebersamaan dalam perjuangan sangatlah kuat, ini semua karena kesamaan visi untuk tujuan indonesia merdeka.

Pemuda Indonesia dan Politik

Dalam pandangan Bung Hatta, Pemuda Indonesia berpolitik lebih awal dibandingkan pemuda dibarat, saat itu padahal pola berpikir seperti itu dianggap sebagai pengaruh Barat, sementara hal seperti itu di barat sendiri  dianggap sebagi sesuatu yang tidak nomal, seperti yang dikatakan Bung Hatta:

“Di Barat, pemuda-pemudi intlektuil pada universitas-universitas memepersiapkan diri untuk kegiatan dibidang politik dan kemasyarakatan dikemudian hari.” dikemudian hari disini maksudnya setelah mereka menyelesaikan studi mereka. kalau pemuda Indonesia lebih awal terjun kepolitik dikarenakan situasi dan kondisi yang sangat memaksa. “Sedangkan di Indonesia,kegiatan itu sudah dimulai tatkala pemuda-pemudanya masih duduk dibangku sekolah. Organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen bond, Jong Minahas, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Indonesia Muda dan lain-lain, semua organisasi itu lahir dari  ruangan kelas sekolah-sekolah menengah”. Demikian yang dikatakan Bung Hatta lagi.

Itulah selemumit pandangan Bung Hatta tentang Pemuda Indonesia di masa lalu, bagaimana sikap pemuda terhadap kolonial, sehingga situasi dan kondisi saat itu justeru membuat Pemuda Indonesia cepat dewasa mengahadapi keadaan, dan mampu berjuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Jadi wajar saja kalau Soekarno masih mudapun sudah matang berpikir, dan senantiasa berpikir untuk kemerdekaan Indonesia. Mungkin dengan kondisi sekarang ini Pemuda Indonesa berjuang sesuai pula dengan kondisi yang ada.

Semoga saja perjuangan pemuda dimasa lalu bisa memberikan inspirasi bagi perjuangan Pemuda Indonesia dimasa sekarang.

Sumber tulisan diambil dari buku, Mahakarya Soekarno-Hatta, terbitan Vision 3

Bung Karno dan Lahirnya Pancasila 1 JUuni 1945




Pentingnya landasan dasar negara sudah dipikirkan oleh Bung Karno jauh sebelum Indonesia Merdeka. Sejak tahun 1918, saat usianya baru 18 tahun. Bung karno sudah berpikir meletakkan landasan dasar “Kebangsaan Indonesia” sebagai prinsip pertama bagi negara Indonesia merdeka. Kata Bung Karno, Indonesia Merdeka bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan bangsawan, atau golongan kaya, tetapi “semua buat semua”.

Bung Karno memberikan gambaran tentang beberapa tokoh lain didunia, bagaimana mereka mendirikan negara beserta landasan negarany, Lenin mendirikan negara Soviet Rusia tahun 1917 tetapi dasarnya sudah berpuluh-puluh tahun umurnya. Adolf Hitler yang naik singgasana tahun 1933 tetapi sudah mengikhtiarkan Naziisme sejak tahun 1921 dan 1922. Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka tahun 1912 tetapi sejak tahun 1885 sudah memiliki dasar negara tertuang dalam buku “The Three People’s Principle” yakni nasionalisme, demokrasi, sosialisme.

Dalam risalah “Mencapai Indonesia Merdeka”, dibuat tahun 1933, Bung Karno menyebutkan kemerdekaan adalah jembatan emas untuk menyeberang menyempurnakan masyarakat.
Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia, mengutip tulisan Armstrong itu pada 1 Juni 1945 tatkala berpidato di depan sidang Panitia Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. Ia saat itu berbicara tentang prinsi-prinsip dasar sebuah negara merdeka.

Karena Bung Karno menyebutkan lima dasar, dan diterjemahkan sebagai Pancasila, maka 1 Juni itu dikenallah sebagai Hari Lahir Pancasila, dan nama Proklamator ini disebut pula sebagai penggalinya.

Sebuah pemikiran yang besar dari orang yang berjiwa besar, bahwa pentingnya memberikan sebuah landasan bernegara yang kuat dalam satu bangsa yang begitu majemuk, yang mampu mempersatukan yang berbeda suku dan agama dalam satu ikatan bangsa yang satu Bangsa Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ini sudah dipikirkannya.

“Kita semua harus mendirikan satu negara kebangsaan di atas satu kesatuan bumi Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ke Irian, bukan sekedar satu golongan yang hidup di satu daerah kecil. Bangsa Indonesia adalah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik telah ditentukan oleh Tuhan tinggal di semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatera sampai ke Irian.”

Pemikiran tentang Pancasila dituangkannya dalam rangkaian kata yang bermuara pada Persatuan dan Kesatuan bangsa, dalam ikatan persaudaraan tanpa membedakan ras, suku dan agama. Tentulah ini bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena berbagai suku dan agama harus masuk dalam pemikiran dan juga bermusyawarah dan bermufakat untuk kemajuan bersama dalam persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Uraian pemikiran tentang makna dan isi sila-sila yang ada dalam Pancasila tersebut dituangkan  dalam gagasan besar untuk persatuan Indonesia menuju Kemerdekaan Indonesia.

Paham kebangsaan tidak akan meruncing menjadi kauvanis. Tanah air Indonesia yang berbangsa satu, yang berbahasa yang satu, hanyalah satu bahagian kecil dari dunia. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan yang menyendiri, tetapi seperti dikatakan Mahatma Gandhi, seorang nasionalis yang kebangsaannya perikemanusiaan.

Indonesia jangan pernah berkata sebagai bangsa yang terbagus, yang termulia. Indonesia harus menuju persatuan dan persaudaraan dunia sekaligus menuju kekeluargaan bangsa-bangsa. Karena itu prinsip dasar kedua adalah “Internasionalisme, atau peri-kemanusiaan.”
Syarat mutlak menuju Indonesia “semua buat semua” ialah ada permusyawaratan, perwakilan. Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Dengan cara mufakat perbaiki segala hal, termasuk keselamatan agama dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan.

Apa-apa yang belum memuaskan, dibicarakan di permusyawaratan seperti tuntutan-tuntutan Islam. Kalau orang Kristen ingin tiap-tiap letter peraturan negara harus menurut Injil, misalnya, bekerjalah mati-matian agar sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan adalah orang Kristen. Itu adil, fair play, karena itu prinsip ketiga adalah “Mufakat atau Demokrasi.”

Prinsip keempat adalah “Kesejahteraan sosial”. Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Kita tidak mau Indonesia Merdeka kaum kapitalnya merajalela. Atau, semua rakyatnya sejahtera, cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi. Kita mencari demokrasi permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Prinsip kelima Indonesia Merdeka dengan “Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Hendaklah negara Indonesia negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menurut kitab-kitab yang ada padanya. Semua bertaqwa dengan cara yang berkeadaban yakni yang hormat-menghormati satu sama lain.

Tentunya ini bukanlah pemikiran yang mudah, tapi bukan juga sesuatu yang sulit kalau hal tersebut memang dipikirkan secara sungguh-sungguh. Dalam menyusun gagasan ini beliau juga di bantu oleh Mr. Mohammad Yamin. Bukankah ini sebuah upaya yang patut dan harus kita hargai, tidaklah harus mensakralkan Pancasila, tapi menghargai Pancasila sebagai dasar Negara dan alat pemersatu Bangsa, harus tetap terus dikedepankan. Karena itulah salah satu cara kita menghargai apa yang sudah dirintis dan diupayakan oleh Pendiri Bangsa ini, untuk menyatukan bangsa ini dari perpecahan.

Semoga saja dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 sekarang ini, kita bisa merenungkan apa yang sudah diupayakan Bapak Pendiri Bangsa ini, Ir. Soekarno, dan kita bisa tetap senantiasa mengenang jasa-jasa beliau, juga tetaplah mengakui Pancasila sebagai Dasar Negara dan alat pemersatu bangsa. Semoga kita juga tetap bisa mengamalkannya dalam kehidupan bernegara, mampu menghargai perbedaan demi persatuan dan kesatuan Bangsa.

Tulisan ini saya kutip dari berbagai sumber, baik buku, blog maupun beberapa media on line.
Jakarta, 1 Juni 2011

Bung Karno Keturunan Sunan Kalijaga




“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Menjadi presiden Pertama Republik Indonesia mungkin bukanlah cita-cita Bung Karno, namun garis hidup dan perjuanganyalah yang mentakdirkanya, bakat kepemimpinannya sudah  dari kecil dia warisi. Tanpa upaya rekayasa diapun terpilih menjadi Presiden. Terlahir dengan nama Koesno Sosro Soekarno dari rahim seorang wanita keturunan Bali yang bernama Ida Nyoman Rai dan ayahnya seorang priyai yang bernama  Raden Sukemi Sosro Dihardjo, dilahirkan tanggal 6 jui 1901, di Surabaya,  disaat orang-orang hendak menunaikan sholat subuh, sehingga dia diberi julukan “Putra Sang Fajar.”

Bila kita teliti garis keturunan beliau, ternyata Bung Karno merupakan cicit Raden Ayu Serang, seorang pejuang yang berperang sebagai pahlawan wanita Islam bersamaPengeran Diponegoro melawan Belanda. Raden Ayu Serang termasuk cicit pula dariSunan Kalijaga, salah seorang wali songo nan Sembilan. inilah  fakta sejarah. Titisan darah pejuang yang sangat kental dalam diri BungKarno inilah yang sangat mempengaruhi sikap dan kepemimpinannya.

Masa kecilnya dikota kelahirannya Surabaya, sampai usianya menginjak 6 tahun, setelah itu Soekarno kecil pindah ke Mojokerto bersama kedua orang tuanya. Sejak kecil Putra Sang Fajar ini telah menampakkan tanda-tanda, bahwa ia akan menjadi orang besar di kemudian hari. Dilingkungan pergaulan teman-temannya Soekaro Cilik sering dijadikan pemimpin, inilah yang membuat embahnya Raden Hardjodikromobegitu sayang sama dia, sehingga Soekarno dijemput embahnya dan dimasukkan oleh embahnya ke sekolah desa di Tulungagung.
Titisan darah pemimpin yang mengalir dalam tubuhnya inilah yang menuntun dan menyeretnya untuk terjun keduia politik pada akhirnya. Selepas menamatkan sekolahnya di desa, Soekarno kembali ke kota kelahirannya Surabaya, tinggal bersama H. Oemar said Cokroaminoto yang merupakan sahabat ayahnya. Untuk melanjutkan kesekolah tingkat menengah, ia memasuki H.B.S (Hogere Burger School) yang bagi masa itu hanya dapat dimasuki oleh sebagian kecil rakyat Bumi Putra saja.  Melihat kepada kegiatan Soekarno sehari-hari selama di Surabaya, semua orang jadi tertarik dengannya, termasuk tokoh Syarikat Islam; HOS Cokroaminoto. Beliau terlalu sayang kepada Soekarno yang masih muda belia.

Cokroaminoto adalah orang yang banyak memberikan pelajaran pada Soekarno muda, mulai dari pendidikan politik juga pendidikan keagamaan. Sebagai anak muda yang cerdas, tidak jarang Cokroaminoto mengajaknya kemana pun dia pergi berpidato untuk mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajahan belanda, sehingga secara tidak langsung  Soekarno pun banyak mempelajari segala sikap dan tindak tanduk Cokroaminoto yang sangat dikaguminya. Dirumah Cokroaminoto inilah dia berteman akrab dengan Kartosuwiryo, namun pada akhirnya karena perbedaan ideologi mereka pun berlawanan, hal itu terjadi disaat Soekarno sudah menadi Presiden Republik Indonesia.

Beruntungnya lagi Soekarno Muda ini, rumah Cokroaminoto adalah tempat berkumpul tokoh-tokoh politik dari bermacam aliran. Kerumah Cokroaminoto sering berkunjung antara lain; Haji Agus Salim, Alimin, Tokoh organisasi pemuda Islam, organisasi kebangsaan dst. Dari perembukan ahli-ahli politik tersebut, Bung Karno yang masih muda itu dapat menarik berbagai siasat dalam permainan politik, dan tokoh-tokoh yang dijumpai dirumah Cokroaminoto ini pun turut memberikan wawasan berpikir Soekarno.

Setelah menamatkan HBS, ia melanjutkan studinya di Bandung. Ia memasuki Fakultas Teknik Sipil (Technische Hoogescholl-ITB sekarang). Selama jadi mahasiswa di Bandung, Soekarno telah memulai kariernya di bidang politik. Karena rajin membaca,  ia dapat menguasai bermacam bidang ilmu.

Perjalanan hidup dan perjuangannya itu, sangat menentukan masa depannya, menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia, adalah anugerah yang luar biasa dari Allah Swt, jabatan tersebut dia peroleh melalui perjuangan dan pengorbanan yang panjang, bukanlah sesuatu yang dicapai lewat proses politik yang penuh rekayasa seperti sekarang ini.

Inilah sepenggal kisah perjalanan hidup Bung Karno yang tidak pernah bosan saya tuliskan. Tulisan ini saya kutip dari berbagai Buku tentang Bung Karno, salah satunya adalah: “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat” Karya Cindy Adam. Semoga tulisan ini bisa mencerahkan juga bermanfaat.