Loyalitas Pejabat Negara pada Bangsa dan negara





Ketika seorang Politisi dilantik menjadi Pejabat Negara, sumpah jabatan menjadi Komitmennya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk mengabdi pada Bangsa dan Negaranya, bukanlah untuk kepentingan Partai Politik yang mengusungnya. Tapi yang terjadi di negara ini, seorang Pejabat Negara yang mewakili partai, lebih cenderung untuk mengabdi pada partai ketimbang pada Bangsa dan Negara.

Ada satu tradisi menjelang Pemilu yang sudah sering terjadi, beberapa Menteri Kabinet mengundurkan diri, dan ini dilakukan semata-mata demi kepentingan politik partai, motivasi pengunduran diri ini ada bermacam-macam, ada yang dikarenakan ingin mengikuti Pilpres dan ada juga karena diminta oleh partai untuk kepentingan yang lainnya.

Kalau melihat kondisi seperti ini timbulah pertanyaan, loyalitas pejabat negara itu sebetul pada kepentingan bangsa dan negara atau pada kepentingan partai, apakah mungkin dibuat sebuah sistem/aturan yang memungkinkan agar politisi yang terpilih sebagai pejabat negara melepaskan atribut kepartaiannya, agar bisa mengabdi sepenuhnya pada negara dan melepas semua keterkaitannya dengan partai politik.
Kalau pun tidak diatur demikian, alangkah baiknya jika pejabat negara tersebut membuat komitmen dengan partai yang mengusungnya untuk tidak mengintervensi tugas dan tanggung jawabnya pada bangsa dan negara. Partai politik hanya berhak menjaga dan mengawasi sikap dan prilaku kader partainya yang menjadi pejabat negara.

Politisi yang menjadi pejabat negara hendaknya tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik partai, setiap tugas dan kunjungan kerja tidak dimanfaatkan untuk konsilidasi antar kader partai. Penyalahgunaan fasilitas negara ini sangat mungkin terjadi.

Pada banyak kasus yang terjadi, untuk kepentingan anggaran partai, pejabat negara yang juga kader partai politik mencari anggaran politik tersebut lewat APBN/APBN, dan ini pernah di cek dari hasil audit BPK. Seperti yang pernah diberitakan Vivanews.com :

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil melansir temuan bahwa ada Rp300 triliun dana bantuan sosial yang mengalir antara 2007-2010. Sebagian dana itu, kata Rizal, dimanfaatkan untuk keperluan pemilihan kepala daerah.  

Modus menitipkan Dana Politik sebagai “Penumpang Gelap” dalam APBN ini memang merupakan modus korupsi para eksekutif untuk membalas budi pada partai politik yang mengusungnya, disamping itu dana tersebut memang digunakan untuk membiayai proses Pilkada, sejak proses kampanye yang dibantu partai politik, sampai proses pemilihan.

Kasus diatas tersebut adalah merupakan bentuk dampak dari loyalitas pejabat negara yang juga kader partai politik terhadap partai yang mengusungnya. Mestinya hal ini tidak terjadi, kalau komitmen awalnya adalah mengabdi pada bangsa dan negara bukan pada partai politik. Semoga saja ada kesadaran dari para politisi yang mendapat amanat rakyat untuk menjadi pejabat negara, mampu menjunjung tinggi moralitas dan tanggung jawab sumpah jabatannya.

Foto : Google Images

Tidak ada komentar:

Posting Komentar