Hoegeng Bukan "Polisi Tidur" tapi Polisi Jujur




Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan hari Ulang Tahunnya 1 Juli 2012 yang baru lalu. Kalau mengingat perayaan HUT Polri ini, ada sejarah yang cukup memilukan bagi seorang Mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Imam Santoso, karena di Era kepemimpinan Soeharto, Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli.

Padahal sebagai seorang mantan Kapolri, sudah sewajibnya Hoegeng menghadiri perayaan Hut Bhayangkara seperti umumnya mantan Kapolri lainnya, namun rupanya itu menjadi pengecualian bagi Hoegeng, sehingga setiap perayaan Hut Bhayangkara Hoegeng tidak pernah mendapat undangan untuk menghadiri perayaan tersebut, namun Hoegeng menerima kenyataan itu dengan kelapangan hati, tidak pernah merasa dikucilkan dari korp Kepolisian.
Sebagai seorang polisi, soal kejujuran, polisi mana yang bisa menandingi mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santosa. Selama karirnya di kepolisian, Hoegeng bekerja keras mengungkap berbagai kasus besar. Dia juga yang membersihkan polisi dari korupsi dan suap.

Sikap seperti yang dimiliki Hoegeng itulah yang tidak diwarisi oleh polisi dijaman sekarang, sehingga sosok Hoegeng menjadi simbol polisi yang jujur yang penuh dedikasi dan integritas yang pernah dimiliki Kepolisian Republik Indonesia.

Wajar saja kalau Hoegeng dikucilkan oleh Soeharto, Hoegeng adalah tokoh Petisi 50. Kelompok itu dianggap menentang Soeharto. Anggota Petisi 50 di antaranya adalah Jenderal Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, Mohammad Natsir, dan Syafruddin Prawinegara. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980.

Tentang sosok Pak Hoegeng ini saya juga punya kenangan diwaktu masih kecil, saya sering menonton acara Irama Lautan Teduh di TVRI, yang mana beliau dan isterinya selalu mengisi acara tersebut, kalau gak salah seminggu sekali, dengan Group musiknya Hawaian Senior. Namun lagi-lagi tayangan ini pun dicekal Soeharto, karena ketidaksenangan Soeharto pada Hoegeng.

Tidak pernah jelas mengapa acara tersebut dicekal. Alasan “resminya” karena acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga pencekalan itu berkaitan dengan keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi 50” yang berisi kritikan keras terhadap Pak Harto.

Kembali pada pelarangan kehadiran Hoegeng di acara Hut Bhayangkara, menjelang akhir Pemerintahan Orde Baru, di tahun 1997, Kapolri Jenderal Dibyo Widodo datang ke kediaman Hoegeng. Dibyo mengundang Hoegeng untuk menghadiri peringatan HUT Bhayangkara 1 Juli 1987. Dibyo yang tahu Hoegeng tak punya mobil pun memberikan hadiah sebuah Mitsubishi Lancer bernomor B 733 DW. Dengan hati-hati Dibyo meminta Hoegeng menerima hadiah itu. Dia tahu Hoegeng selalu menolak pemberian mewah.

“Ini pemberian saya kepada Pak Hoegeng, sebagai rasa terima kasih saya kepada Kapolri pertama lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Jadi ini harap diterima karena saya berterima kasih sekali kepada bapak,” ujar Dibyo seperti ditulis dalam buku ‘Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-’ terbitan Bentang.

Maka sejak itu, Hoegeng kembali hadir setiap tanggal 1 Juli di HUT Bhayangkara. Pak polisi jujur itu kembali ke tengah barisan korps baju coklat yang sangat dicintainya.

Hoegeng terakhir menghadiri HUT Polri tahun 2001, sebelum meninggal tahun 2004.




Sumber tulisan :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar