Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Dengan Blusukan, Jokowi "Belum" Bekerja

Foto : Kompas.com



Bagi para Birokrat yang biasa memimpin dari belakang meja, gaya “Blusukan” Jokowi dianggap bukanlah kerja yang sesungguhnya, sehingga banyak sekali yang menganggap Jokowi “belum” bekerja. Masing-masing pemimpin/birokrat tentulah mempunyai karakteristik dalam memimpin dan melaksanakan pekerjaannya, namun Kultur Birokrasi baru yang ditawarkan Jokowi-Ahok, agaknya belum sepenuhnya bisa diterima banyak kalangan.

Beberapa tokoh yang menganggap Jokowi belumlah bekerja diantaranya adalah, Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Mantan Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, dan yang terakhir adalah Menaker Muhaimin Iskandar. Entah apa dasar penilaian mereka ini sehingga cara kerja blusukan Jokowi dianggap belum bekerja, padahal cara kerja blusukan Jokowi tersebut sangat diapresiasi oleh warga DKI Jakarta, bahkan mendapat penilaian positif dari masyarkat Indonesia pada umumnya.

Kalau secara umum masyarakat Indonesia menilai secara positif, itu artinya penilaian para pejabat tersebut diatas “Cacat Nilai” alias tidak bisa dianggap benar sebagai sebuah penilaian. Kultur baru dalam birokrasi yang diterapkan Jokowi tersebut jelas mempunyai efek yang postif terhadap penyelenggaraan pemerintahan, dimana seorang pemimpin bisa langsung tahu hasil implementasi program yang dijalankan, dan juga tahu program apa yang tidak efektif penerapannya.

Kalau blusukan dianggap belumlah bekerja, tentulah ada yang salah dengan sudut pandang terhadap apa yang dinamakan dengan Bekerja itu sesungguhnya, kalaulah Gubernur DKI Jakarta sebelum-sebelumnya benar-benar bekerja, tentunya tidak lagi banyak yang harus dikerjakan Jokowi saat ini, tapi pada kenyataannya, apa yang dihadapi Jokowi sekarang ini adalah problem Jakarta yang tidak bisa diatasi oleh gubernur sebelumnya. Lantas pertanyaannya, apakah selama menjadi gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sudah bekerja dengan benar .?

Pertanyaan seperti itu pun bisa dialamatkan pada Hidayat Nur Wahid dan Muhaimin Iskandar, apakah selama mereka menjabat sudah melaksanakan pekerjaan dengan benar, atau jangan-jangan mereka cuma merasa sudah paling benar dalam bekerja selama ini. Saya malah curiga jangan-jangan cara kerja blusukan Jokowi ini malah telah membuka borok mereka, sehingga jadi gerah terhadap cara kerja blusukan Jokowi tersebut.

Seorang pengamat Komunikasi Politik, Ari Junaedi malah menganggap apa yang dilakukan Jokowi-Ahok itu sebagai Kultur Birokrasi yang baru, karena tidak umum dilakukan oleh para birokrat kita selama ini, dan merupakan perubahan baru dalam birokrasi di pemerintahan daerah, khususnya diwilayah Pemerintahan DKI Jakarta. Seperti yang disampaikannya pada Kompas.com :

“Jokowi-Ahok mengubah kultur yang selama ini kental di lingkungan pemda. Mereka telah menghadirkan gaya kerja berbeda yang terhitung langka pada lingkup birokrasi,”

Kalau selama ini para pejabat/birokrat hanya menerima laporan dari bawahannya, tanpa pernah tahu laporan tersebut sudah benar dilaksanakan atau tidak, sekarang seorang pejabat bisa langsung tahu apa kendala yang sedang dihadapi warga masyarakat, dan kendala tersebut bisa lebih cepat untuk diatasi tanpa melalui proses birokrasi yang berbelit. Lantas apakah Jokowi-Ahok dengan blusukan tetap dianggap belum bekerja ? Harus diluruskan sikap dan pandangan seperti itu, sudah saatnya pejabat/birokrat itu terjen langsung kemasyarakat, seperti yang diteladankan oleh Khalifah Umar Ibnu Khatap dalam memimpin ummatnya.

"Gratifikasi Sex" itu Lazim

Foto : SH News.co



Masalah Gratifikasi Seks menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini, karena pemberian hadiah berupa pelayanan seks ini dianggap susah untuk dijerat secara hukum. Dijaman Politik Transaksional sekarang ini, gratifikasi Seks juga dijadikan alat transaksi politik, bisa jadi hal ini yang membuat Politisi Demokrat dari Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika menganggap gratifikasi seks itu adalah sesuatu yang lazim sejak jaman kerajaan.

Mungkin benar apa yang dikatakan Pasek, tapi sesuatu yang lazim tersebut bukanlah berarti harus dilegalkan. Sebagai politisi yang duduk di Komisi Hukum DPR RI, seharusnya turut memberikan kontribusi pemikiran, pasal hukum seperti apa yang patut diterapkan untuk menjerat gratifikasi seks ini, bukan sekedar mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontrovesi tapi tidak memberikan solusi.

Seperti yang diberitakan Merdeka.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks. Pengkajian gratifikasi seks itu merujuk pada konvensi internasional yakni United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Itu artinya kita sendiri secara hukum belum menyiapkan Undang-undang tentang gratifikasi ini, nah inilah yang seharusnya menjadi tugas para penyelenggara negara.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku banyak menerima laporan mengenai gratifikasi seksual. Sampai sekarang menurut Mahfud, UU tentang Gratifikasi ini terus dirumuskan. Namun sayangnya Gede Pasek, yang notabene adalah orang yang duduk di Komisi Hukum DPR RI menganggap usulan KPK yang meminta gratifikasi seks dimasukkan dalam Undang-undang sebagai upaya berlebihan.

“Kalau diatur secara khusus, berlebihan. Kalau gratifikasi susah, ini membingungkan,” ujarnya.(Merdeka.com)

Tidak ada yang berlebihan kalau Gratifikasi seks itu dibuat payung hukumnya, karena gratifikasi seks itu adalah bagian dari transaksi suap bagi penjabat yang menyalahgunakan jabatan, dan bukanlah sesuatu yang sulit jika memang ada keinginan yang serius untuk memberantasnya. Atau jangan-jangan memang Gede Pasek sendiri sudah sering menggunakan gratifikasi seks itu dalam politiknya, sehingga dia menganggap sesuatu yang lazim dan perlu dilegalkan.

Sumber berita :
http://m.merdeka.com/peristiwa/gratifikasi-seks-nikmat-tapi-tak-bisa-dijerat.html

foto : SH News.co

Bung Karno dalam Kebersahajaannya [Foto Eksklusif]


Jadi presiden nggak harus selalu melakukan hal-hal yg luar biasa…. justru kebesaran Bung Karno karena hanya melakukan hal-hal yang biasa….

lihatlah beberapa aktivitas Bung Karno dalam beberapa foto dibawah ini :
13463009411042182903
Foto koleksi Handogo Soekarno
13463010491393442934
Foto Koleksi Handogo Soekarno
Peristiwa diatas tentunya bukanlah sebuah kegiatan dalam rangka pencitraan, tapi sebuah aktivitas biasa yang sering dilakukan Bung Karno.
13463012131116802209
Foto koleksi Handogo Soekarno
Bung Karno bercengkrama dengan anak-anak Indonesia, semua terlihat natural tanpa ada rekayasa dan bukan dalam rangka pencitraan…
1346301352328378518
Foto koleksi Handogo Soekarno
1346301448550906395
foto Koleksi handogo Soekarno

13463016332140220700
Foto koleksi handogo Soekarno
Memang menjadi presiden tidak perlu selalu melakukan hal-hal yang luar biasa, kadang-kdang hal-hal yang biasa kalau dilakukan tanpa rekayasa, justeru akan terlihat luar biasa.
****
PINTAR saja TIDAK CUKUP…. dalam masa kekuasaannya yang relatip pendek (periode 5 th), seorang pemimpin dituntut pengorbanannya utk melakukan perubahan2 yg nyata bagi negara & bangsanya…
****
Semua foto diatas diambil dari : http://www.facebook.com/groups/11019138103/

Cinta Seorang Politisi pada Pelacur Jalanan [Episode 1]


Mempunyai jabatan yang terhormat, namun sehari-hari tidak bergaya layaknya orang-orang terhormat, tapi memang setiap orang punya cara pandang yang berbeda dalam melihat kehidupan, Grasto Brendaleto seorang politisi, anggota parlemen, ganteng dan masih lajang, umur 35 tahun. bagi Grasto jabatan tidak perlu merubah gaya hidup, tetap nyleneh, bergaul dengan siapa saja dan tidak mesti setiap hari menghabiskan waktu di gedung parlemen.

Grasto ingin mempersunting kekasihnya Runi, seorang pelacur jalanan yang dia kenal sewaktu dia jalan-jalan disekitar melawai, sehabis mengahadiri rapat paripurna, dia melihat Runi yang cantik berdiri dipinggir jalan sedang mencari pelanggannya.

Sebuah Restoran Mewah dipinggir Dermaga

“Runi..aku mau menikahi kamu…kamu mau.. ya..?

“Jangan mimpi mas….kamu masih bisa cari orang yang lebih terhormat dari aku…”

“Aku tidak mencari wanita yang terhormat dimata orang lain Runi….”

“Aku ini cuma pelacur jalananan mas…mana pantas mendampingi anggota parlemen…
otakku nggak nyampe mas…aku gak mampu berada dilingkungan seperti itu…”

“Aku butuh alasannya Runi…bukan jawaban aja…apa bedanya aku sama kamu…jabatanku bukanlah kehormatanku…sama seperti halnya kamu Runi….”

“Tapi mas…siapa yang mendampingi kamu itu akan mempengaruhi jabatan kamu…”

“Maka dari itulah aku butuh kamu yang mendampingi aku runi….kamu akan jadi perempuan yang hebat nantinya…Dewi Soekarno aja bisa jadi wanita terhormat, begitu diperisteri Soekarno…”

Seruni hanya terdiam membisu, dia kehilangan kata-kata, jauh dilubuk hatinya dia sangat ingin dipersunting Grasto, menjadi wanita terhormat, tidak lagi menjajakan diri dijalanan, tapi ada keraguan yang menyelinap diantara keinginannya.

Memang semenjak kenal dengan Grasto, seruni tidak lagi menjajakan diri, Seruni tinggal disebuah perumahan yang cukup bergengsi, sementara Grasto tinggal di perumahan anggota parlemen, mereka tidak lagi melakukan hubungan layaknya seorang pelacur dan pelanggannya, Grasto memperlakukan Seruni layaknya perempuan yang terhormat.

Rumah Seruni-Ruang Tamu

Seruni duduk dipangkuan Grasto dengan manja, membelai rambut Grasto dengan penuh kasih sayang, Grasto hanya tersenyum…dia begitu nyaman ada didekat Seruni.

“Mas…dirumah ini hanya kita berdua…rumah ini adalah juga rumahmu…yang hanya sekedar aku tempati…kenapa kamu tidak lakukan apa yang kamu suka…”

“Maksud kamu apa Runi…aku harus melakukan apa…aku harus meniduri kamu, karena kamu adalah perempuan simpananku…begitu  ?

“Ya bukannya begitu biasanya yang laki-laki lakukan…”

“Kitakan sudah lama seperti ini runi…bagi aku itu bukanlah sebuah keharusan…aku sangat menghormati kamu…aku gak mau kamu punya pikiran, kalo aku sudah membeli kamu…teruslah mengenalaku Runi…”

Mata Seruni mulai berkaca-kaca…dengan lembut dan penuh kasih sayang, Grasto terus meyakinkan Seruni, bahwa dia memang mencintai dan menghormati Seruni, bukan hanya sekedar merasa memiliki.

Mereka kembali terdiam dalam kebisuan, hanya mata yang saling menatap penuh kasih sayang, sangat  terasa kalau grasto memang sedang memperlakukan Seruni layak pujaannya, sebuah romantisme yang dewasa tanpa dibumbui nafsu untuk saling menguasai, menjajaki dengan saling pengertian untuk satu tujuan pernikahan yang abadi.

Bersambung ke episode 2

Bung Karno Lolos dari Pembunuhan

Gerakan 30 September atau G-30-S, atau ada yang lebih suka menyebut Gerakan 1 Oktober atau Gestok, pada hakikatnya sama, yakni sebuah tragedi berdarah yang merenggut tujuh perwira TNI-AD. Catatan sejarah mengenai peristiwa kelabu itu, ditandai dengan episode sebuah aksi terkutuk yang diprakarsai Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, istilah G-30-S selalu diikuti dengan garis miring PKI.

 Berbagai publikasi mengenai perisitwa tersebut sudah banyak beredar. Bahkan, berbagai diskusi, seminar, sarasehan acap digelar. Khususnya menjelang akhir September. Serpihan sejarah bermunculan, mulai dari keterlibatan CIA hingga keterlibatan –langsung atau tidak langsung– mantan penguasa Orba, Soeharto. Dalam pada itu, beredar pula publikasi yang mencoba mengukuhkan stigma bahwa Sukarno juga telibat, langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tersebut.

 Yang pasti, pasca G-30-S, pasca Gestok, yang secara kasat mata membenturkan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal, berakibat pada upaya sistematis menjatuhkan kredibilitas Sukarno sebagai Presiden. Adapun tujuh perwira yang menjadi korban kebrutalan oknum pasukan Resimen Cakrabirawa itu, adalah Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I.Panjaitan dan Lettu Pierre Tendean. Nah, tahukah Anda, bahwa di balik itu semua, sejatinya Dewan Revolusi juga mengancam nyawa Presiden Sukarno? Kesaksian ini diungkapkan Moch. Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop) Kabinet Dwikora.

Mengurai kesaksiannya ihwal peristiwa genting itu, sungguh laksana membayangkan sebuah lakon drama yang mencekam. Kisah bermula dari Rapat Teknik, 30 September 1965 malam di Istora Senayan, Jakarta. Sesuai jadwal, usai memberi pidato, Bung Karno kembali ke Istana, karena esok paginya, 1 Oktober 1965, ia harus menerima sejumlah tamu untuk urusan negara. Memang, dalam skenario gerakan, malam itu semua “objek” diatur sedemikian rupa supaya pada malam 1 Oktober 1965 ada di rumah masing-masing.

 Itulah mengapa, penculikan para jenderal berlangsung mulus, karena pada malam itu memang semua ada di rumah masing-masing. Bagaimana dengan Bung Karno? Inilah yang terkait erat dengan judul di atas… ya… terkait dengan ngambeknya Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno nan jelita yang berdarah Jepang itu. Syahdan, tanggal 29 September 1965 malam adalah giliran Bung Karno mengunjunginya di kediaman Wisma Yaso, sekarang Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto.

Namun karena kesibukan yang luar biasa, Bung Karno lupa tidak mengunjungi Dewi. Maka, Dewi pun ngambek dibuatnya. Nah, esok malamnya, 30 September 1965, Dewi mengajak Ny. Sjarief Thayeb, istri Menteri Perguruan Tinggi, bersenang-senang di klub malam Hotel Indonesia. Peristiwa itu diketahui oleh Letkol (Tit) Suparto. Dia adalah sopir, sekaligus orang dekat Bung Karno, khususnya pada hari itu.

Dalam perjalanan dari Istora Senayan menuju Istana, melalui obrolan ringan, Suparto melapor ke Bung Karno. “Bu Dewi ngambek lho pak….” Awalnya hanya pernyataan pancingan. Namun ketika Bung Karno merespons antusas, barulah Suparto melanjutkan, “Bapak kan kemarin harusnya mengunjungi Bu Dewi, tetapi Bapak tidak ke sana.” Atas laporan Suparto, Bung Karno makin antusias menyelidik dan mencari tahu cerita selanjutnya. “Yaaa… sekarang Bu Dewi sedang di kelab malam di Hotel Indonesia bersama Ibu Sjarief Thayeb.”

Spontan Bung Karno mengeluarkan perintah dadakan, dan hanya Suparto yang tahu perintah itu. Intinya, “Lekas kembali ke Istana. Tukar mobil dan tukar pakaian, langsung keluar lagi ke Hotel Indonesia, jemput Bu Dewi.” Itulah peristiwa 30 September 1965 malam. Sekembali ke Istana, Bung Karno bertukar pakaian, lalu keluar lagi bersama Suparto menjemput Dewi di Hotel Indonesia. Sesampai di pelataran parkir, Bung Karno menyuruh Suparto masuk, menjumpai Dewi dan memberi tahu ihwal kedatangannya menjemput.

 Demi mendapati kedatangan Suparto dan informasi yang disampaikan, Dewi pun bergegas keluar kelab malam dan menemui Bung Karno yang sudah menunggu di dalam mobil. Cerita berlanjut ke Suparto membawa pasangan Bung Karno – Dewi ke Wisma Yaso. Di sanalah Bung Karno menghabiskan malam berdua istrinya yang jelita. Kisah berlanjut pagi hari, ketika Brigjen Supardjo datang ke Istana hendak menjumpai Bung Karno.

Sebagai pentolan Cenko (Central Komando) PKI, Supardjo mendapat tugas untuk meminta persetujuan Bung Karno atas gerakan Dewan Revolusi yang menghabisi apa yang disebut Dewan Jenderal. Perintah Cenko PKI kepada Supardjo adalah, kalau Bung Karno menolak menandatangani persetujuan pembantaian Dewan Jenderal, maka Supardjo harus membunuh Bung Karno pagi itu juga. Seketika. Apa yang terjadi? Bung Karno tidak ada di Istana. Ajudan dan pengawal yang ada di Istana pun tidak tahu di mana Bung Karno berada. Bisa dimengerti, karena yang mengetahui peristiwa malam itu hanya Bung Karno dan Suparto, sopir dan orang dekat yang mendampingi Bung Karno 30 September 1965. 

Sementara itu, pada episode yang lain, Bung Karno bersama Suparto meninggalkan Wisma Yaso pagi hari hendak kembali ke Istana. Apa yang terjadi? Di luar Istana tampak keadaan yang mencurigakan, banyak pasukan tak dikenal. Pengawal spontan membelokkan arah mobil Bung Karno ke Slipi, ke kediaman istri yang lain, Harjatie. Dari Slipi itulah pengawal dan ajudan berkoordinasi mengenai situasi genting yang sedang terjadi.

 Satu hal yang bisa dipetik dari peristiwa 30 September 1965 malam, adalah, kalau saja Dewi tidak ngambek…. Kalau saja Suparto tidak melaporkan kepada Bung Karno ihwal ngambeknya Dewi…. Kalau saja Bung Karno tidak berinisiatif menjemput Dewi di Hotel Indonesia dan pulang ke Wisma Yaso…. Bung Karno pasti sudah ditembak mati Supardjo. Mengapa? Semua kalkulasi tidak akan menyimpulkan Bung Karno tunduk pada Supardjo dan menandatangani persetujuan gerakan Dewan Revolusi.

Dan ketika Bung Karno menolak tanda tangan, sudah jelas apa yang terjadi, Supardjo harus menembak mati Bung Karno saat itu juga. Bagaimana rangkaian kisah di atas tersusun? Adalah Moch. Achadi, yang secara kebetulan adalah paman dari Sutarto, sopir Bung Karno pada 30 September 1965, sehingga ia mengetahui dari Sutarto langsung peristiwa tadi. Kemudian, secara kebetulan pula, ketika Achadi ditahan penguasa Orde Baru, ia berdekatan dengan sel Brigjen Supardjo yang bertugas mengeksekusi Bung Karno seandainya tidak memberi restu kepada Dewan Revolusi. Begitulah sejarah terbentuk. Begitulah kebenaran mengalir menemukan jalannya sendiri. --------------------------------------------------------

Sumber tulisan dari :
https://www.facebook.com/photo.php_?fbid=3968025set679&set=a.769981149274.105859.100000488266800&type=3&theater

Misteri Diseputar Peristiwa G 30 S PKI



Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan G 30 S PKI, sebuah isu yang mencuat dengan memanfaatkan momentum Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memang cukup dominan saat itu, begitu seram kedengarannya karena secara politis gerakan ini dianggap berbahaya dan musuh masyarakat, juga doktrinnya Partai Komunis Indonesia (PKI) itu Partai terlarang, sehingga pada saat itu banyak masyarakat yang tidak berdosapun terfitnah sebagai penganut Partai terlarang tersebut.Baca Ini

Doktrin ini dihembuskan sampai Rezim Orde Baru berkuasa, siapapun yang tidak termasuk dalam Gerbong Orde Baru maka kalau salah faham akan di Cap sebagai anggota organisasi terlarang, ini bagian dari trik politik untuk memperkuat kekuasaan, kalaulah dikatakan Fitnah itu Dosa maka betapa banyak dosa orang-orang Rezim Orde Baru tersebut, karena begitu banyak rakyat yang tidak berdosa menjadi korban fitnah sebagai PKI. Untuk kepentingan Politik hal seperti itu dianggap sesuatu yang biasa, yang penting tujuan yang diinginkan tercapai.

Momentum Gerakan 30 September ini pula merupakan sebuah gerakan penumpasan PKI, jika ada yang ditumpas habis maka tentunya ada yang menjadi Pahlawan Penumpasnya, gerakan ini merupakan gerkan politik yang sangat terencana secara sistematis, namun sejarah tidak bisa mencatat sebagaimana mestinya, bagi penguasa sejarah bisa diciptakan sesuai dengan kehendaknya, banyak sejarah yang diajarkan tidak mengikuti kebenarannya, karena semua yang ada dikuasai penguasa, bertentangan dengan penguasa maka akan di cap anggota PKI, hal inilah yang membuat rakyat tak lagi berani buka suara.

Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :

1. Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.
2. Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto
3. Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan mencegah Indonesia menjadi basis komunisme
4. Keempat, merupakan skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno
5. Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD
6. Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 jiwa telah menjadi korban, tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.

Pada catatan sejarah yang ada, banyak para Jenderal yang mati karena kekejaman PKI, seperti itulah sejarah yang tertulis, tapi seperti apakah kebenaran sejarah sesungguhnya ? Hal inilah yang sangat susah untuk diungkap tapi sejarah tetaplah sesuatu realita yang cepat atau lambat akan tetap terungkap.

Sumber tulisan dikutif dari berbagai sumber buku maupun media online yang berupa catatan sejarah G 30 S PKI
Sumber foto: http://bossgahutagalung.files.wordpress.com/2010/09/penumpasan-pki-g-30-s.jpg

Pidato SBY "Menghipnotis" Anak-anak Hingga Tertidur





Hebatnya pidato Presiden SBY, bukan hanya orang dewasa dan pejabat negara yang mendengarkan pidatonya hingga tertidur, anak-anak pun bisa dinina bobokkan oleh pidato beliau. Seringkali Presiden SBY menegur orang-orang yang tertidur saat beliau sedang berpidato, seakan-akan pidato beliau tidak penting untuk didengarkan, atau bisa jadi saking khidmatnya mendengarkan, sehingga tertidur pulas. 

Saat berpidato pada perayaan Hari Anak Nasional yang diadakan di Theater IMAX Keong Emas TMII, Jakarta, Rabu (29/8/012), yang dihadiri 500-an anak-anak dari Jabodetabek, yang sebagian besar adalah anak usia SD - SMP, anak-anak yang sudah hadir sejak pukul 08.00 WIB, sementara Presiden baru hadir dua jam kemudian, sehingga ketika mengikuti pidato presiden ada sebagian anak yang tertidur. 

Seperti yang diberitakan, Presiden SBY sempat menghentikan pidayonya selama tiga menit, karena dilihatnya ada anak-anak yang tertidur sata beliau sedang berpidato, melihat keadaan itu Presiden lalu menegur anak-anak tersebut,

 "Tolong bangunkan yang tertidur, itu ada satu dua anak yang tertidur" celetuk Presiden SBY. 

Mendengar teguran Presiden, maka anak-anak tersebut dibangunkan, dan Presiden pun melanjutkan pidatonya. Memang kalau melihat materi pidato yang disampaikan Presiden SBY, banyak memberikan pesan-pesan yang positif bagi anak-anak Indonesia, hanya saja mungkin substansi isi pidato presiden kurang menarik minat anak-anak untuk mendengarkannya.

Hal ini bisa disebabkan karena anak-anak kurang mengerti terhadap materi pidato yang disampaikan, sehingga akhirnya sebagian anak-anak pun tertidur. Ya namanya juga anak-anak kadang kita yang orang tua harus mau banyak memahami apa yang lebih disukai anak-anak, dan pidato seperti apa yang patut disampaikan pada anak-anak sehingga mereka bisa asyik mendengarkannya.

Tapi memang seharusnya orang tua/pendidik yang mendampingi mereka bisa mengarahkan anak-anak agar tetap konsen mendengarkan pidato Presiden, terlepas dari suka atau tidak suka, dengan demikian presiden merasa lebih dihargai. Tapi yabegitulah kalau materi pidato yang kurang mengena, jangankan anak-anak, orang dewasa pun bisa khusuk mendengarkannya, dan hal seperti ini bukan hanya baru kali ini terjadi, pernah juga didepan para pejabat negara pun demikian terjadi, saat beliau berpidato ada diantara audience yang tertidur, sehingga beliau pun menegur para pejabat tersebut.

 Memang tidak semua orang pandai menarik simpati audience dengan pidatonya, haruslah seseorang yang memiliki keahlian seni berpidato. Kalau kita pernah tahu, bahwa baru Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarnolah yang mampu memukau para audience dengan pidatonya, sehingga yang mendengar pidatonya bisa tergugah dan terpesona dengan isi pidato yang disampaikannya, karena beliau memanglah seorang orator ulung yang belum ada tandingnya di Republik ini.

 Sumber tulisan : Tribunews.com

Peristiwa Dibalik Proklamasi Kemerdekaan RI




Tujuh belas Agustus 2012 adalah merupakan Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tanggal tersebut, 67 tahun yang lalu merupakan hari paling bersejarah bagi Bangsa dan Negeri ini, karena di hari itulah merupakan awal dari “Kebebasan” rakyat Indonesia dari segala penjajahan dan sekaligus penanda awalnya sebuah perubahan yang cukup berarti bagi bangsa ini.

Namun, ada beberapa hal menarik di seputar hari Kemerdekaan tersebut yang sayang jika belum Anda ketahui. Dari beberapa data yang saya dapat, saya hanya menuliskannya kembali sebatas yang perlu diketahui, dan saya edit ulang sesuai dengan momentum memperingati Hari Kemerdekaan  saja, hal-hal lain yang tidak ada kaitannya saya tidak cantumkan disini, mengingat hal tersebut tidak ada korelasinya, beberapa hal yang menjadi Kronik Dibalik Detik-Detik Proklamasi tersebut sebagai berikut:

1. Bung Karno Sakit beberapa saat menjelang Kemerdekaan di Proklamirkan

Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sebelum pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala Malaria Tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah-tengah  puasa Ramadhan. Baca cerita sebelumnya “Konflik” Menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI

“Pating greges”, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.

Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. “Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!

3. Bendera Merah Putih di buat dari Seprai

Berdasarkan data yang saya dapat, Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!, Bendera tersebut di Jahit tangan oleh Ibu Fatmawati, Isteri Bung Karno (ini tambahan dari saya), karena pada data tersebut tidak disebutkan siapa yang menjahitnya.

4. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik olehSajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

5. Negatif Foto Di Tanam di Bawah Pohon

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer,fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

6. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi.

Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya.”You are a liar !” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru.

7. Bendera Merah Putih dan Perayaan Tujuh Belasan Bukan di Indonesia Saja

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960. Selain itu, masih menjadi perdebatan apakah lagu Indonesia Raya benar-benar merupakkan karya asli WR Supratman, ataukah ‘terinspirasi’ oleh lagu Perancis, “Les Marseilles”, yang memiliki nada-nada yg sangat mirip.

8. Gelar Proklamator Hanyalah Gelar Lisan

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada Bung Karno dan Bung Hatta.

9. Indonesi Mungkin Saja Punya Lebih Dari Dua Proklamator

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal : Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

Begitulah Kronik diseputar menjelang Detik-detik Proklamasi, yang mungkin luput dari pengetahuan kita. Tulisan ini sengaja saya susun ulang dalam rangka Meperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 -17 Agustus 2012, semoga saja kita bisa mengenang kembali peristiwa sakral tersebut, dan beberapa hal yang terjadi di seputar peringatan Hari Kemerdekaan tersebut. Kadang kita tidak mengingat betapa peristiwa tersebut sangat dinantikan selama 300 tahun, dan sekarang kita menikmatinya, adakah kita juga memaknai susah payahnya perjuangan para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Republik ini, apa yang sudah kita lakukan untuk republik ini.

Kita hanya tinggal mengisi kemerdekaan ini, dan mempertahankannya agar kita tidak lagi menjadi bangsa yang terjajah, baik secara sosial, budaya, politik maupun ekonomi oleh bangsa manapun. Komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa di tawar lagi, menghindari ketertindasan dari bangsa asing adalah komitmen rakyat dan pemimpin bangsa ini. Indonesia sekarang dan Masa Nanti harus memeiliki pemimpin yang yang mampu berkomitmen untuk tidak tunduk pada kepentingan Asing.

Point-point penting dari tulisan ini saya copas dari http://inpogue.com/rahasia-17-agustus-1945-yang-jarang-diketahui-orang, karena merupakan data otentik, hanya saja saya menambahkan pada hal-hal saya anggap kurang, tapi penting untuk di tambahkan.

Bung Karno dan Konflik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI



Banyak peristiwa sejarah yang cukup penting terjadi menjelang Proklamasi RI tahun 1945, tapi dalam tulisan ini saya mengkhususkan untuk menulis tentang sisi pemuda, tentang patriotisme pemuda indonesia di saat itu yang menurut saya punya peranan yang cukup penting di dalam memproklamasikan Indonesia. Pada setiap jamannya Pemuda selalu menjadi inspirator Pembawa Perubahan, dalam setiap negara setiap perubahan selalu ada pemuda yang terlibat. Makanya peran pemuda dalam sebuah negara itu mempunyai arti yang sangat penting, kualitas pemuda pada suatu negara akan sangat menentukan kualitas suatu negara di masa depan.

 Jakarta kala itu sangat tegang. Golongan tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat sebaiknya kemerdekaan dicapai tanpa pertumpahan darah. Ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda sudah tidak sabar lagi. Kemerdekaan harus segera diproklamasikan tanpa bantuan dan melibatkan bangsa asing mana pun. Kelompok pemuda malah menganggap Bung Karno dan Bung Hatta kejepang-jepangan, padahal ini adalah strategi Diplomasi yang harus dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta.

 Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8) memproklamasikan kemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi PPKI esoknya akan rapat di Jakarta.

Bung Karno dan Bung Hatta menginginkan kemerdekaan ini bisa dicapai dengan cara negosiasi dengan jepang, namun dengan cara demikian Bung Karno dan Bung Hatta di cap ke jepang-jepangan oleh Syahrir. Perbendaan pandangan antara Bung Syahrir dengan Bung Karno dan Bung Hatta, tidaklah ditanggapi secara serius oleh Bung Karno, tapi dengan cara itulah Bung Syahrir memanasi Pemuda agar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta segera memerdekakan Indonesia. Apa yang dilakukan Bung Syahrir adalah demi kemerdekaan Indonesia, hanya saja caranya dipandang oleh Bung Karno dan Bung Hatta terlalu radikal, Bung karno dan Bung Hatta tidak menginginkan adanya pertumpahan darah.

Adalah AM Hanafi, seorang tokoh Angkatan ‘45 dan mantan dubes RI di Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, ”Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00 beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Kami pikir keduanya diiming-imingi Jepang dengan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari. Janji yang kami anggap menghina bangsa Indonesia. Kami para pemuda tidak mau kemerdekaan hadiah.” Ketika Bung Karno dan Bung Hatta hendak masuk mobilnya, Chaerul Saleh menghampiri mereka, dan berkata, ”Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.” Bung Karno yang tidak senang didesak mengatakan, ”Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai mengawasi kita.” Lalu ia masuk ke mobil di mana Hatta sudah berada di dalamnya.

Ketegangan antara Pemuda Indonesia dengan Bung Karno dan Bung Hatta ini memang hanya disebabkan perbedaan persepsi anatar generasi, para pemuda menginginkan sesuatu segera terwujud, sementara Bung Karno dan Bung Hatta masih menginginkan meraih kemerdekaan dengan cara yang damai tanpa pertumpahan darah, makanya ketika Wikana mengancam, ”Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.” Bung Karno pun naik pitam, ”Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.” Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu. Namun para pemuda tidak terus putus asa, tetap berusaha untu memaksa Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Ancaman para pemuda rupanya bukan omong kosong.

Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan. ‘Perdebatan’ kelompok muda dan tua terjadi kembali pada menit-menit menjelang proklamasi. Meski proklamasi diputuskan akan dibacakan pukul 10.00 di kediaman Bung Karno, para pemuda tetap gelisah. Mereka khawatir tentara Jepang akan menggagalkannya.

Mereka mendesak Bung Karno segera membacakannya tanpa menunggu Bung Hatta. ”Saya tidak akan membacakan teks proklamasi kalau Bung Hatta tidak ada. Jika Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri,” kata Bung Karno dengan lantang. Tak lama kemudian terdengar teriakan, ”Bung Hatta datang… Bung Hatta datang….” Tepat pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan RI pun diproklamasikan.

 Jadi sangat jelas peran pemuda Indonesia saat itu demi untuk kemerdekaan Indonesia, andil pemuda indonesia cukup besar dalam detik-detik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, namun peran pemuda ini hanya ada tercatat dalam sejarah, nama-nama mereka jarang sekali disebutkan pada setaiap acara-acara proklamsi kemerdekaan. Setelah kemerdekaan juga peranan pemuda dalam membawa perubahan bangsa sangatlah menonjol, saat Bung Karno turun juga, pemuda cukup berperan dalam memberikan tekanan-tekanan, begitu juga ketika pemerintahan Orde Baru Lengser.

Jadi kalau Bung Karno pernah mengatakan Beriakan aku pemuda, maka aku akan mengguncangkan Dunia. Jadi begitu bangganya Bung Karno pada pemuda Indonesia. Akankah Pemuda Indonesia terus membuat sejarah ? Pastinya akan terus, karena pemuda itu sangat identik dengan semangat perubahan. SALAM MERDEKA….

 Tulisan ini sengaja saya tuliskan untuk mengenang kembali berbagai peristiwa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini saya kutip dari berbagai sumber, baik dari buku, media on line juga dari blog pribadi saya. Semoga saja tulisan ini bisa menggugah semangat kaum muda, betapa pentingnya peranan kaum muda terhadap sebuah perubahan sebuah bangsa.

Foke Dirugikan "Tim Suksesnya Sendiri"



Melakukan pendekatan terhadap rakyat secara aktif memanglah wajib bagi Calon Gubernur DKI, apa lagi dengan cara-cara yang kreatif, yang tidak terkesan butuh rakyat secara musiman. Bulan Ramadhan ini adalah bulan yang sangat tepat untuk meningkatkan silturakhim dengan rakyat, tentunya juga dengan cara-cara yang merakyat, tidak ada batas antara rakyat dengan pejabat.

 Pendekatan kepada masyarakat yang sudah cerdas dalam memilih harus juga dengan cara-cara yang cerdas dan jauh dari kesan culas, karena masyarakat yang cerdas sangat memahami mana cara-cara pendekatan yang baik dan mana pendekatan dengan cara yang culas. Semua akan terlihat dari kebiasaan, yang tidak biasa tentunya tidaklah bisa dibiasa-biasakan.

 Tapi apa yang dilakukan Tim Sukses Foke selama bulan Ramadhan, dengan melakukan Kampanye tersembunyi, memanfaatkan Mesjid dan Sholat tarawih adalah hal yang akan menghancurkan Foke sendiri, mengingat pendekatan seperti itu bukanlah pendekatan yang efektif untuk mencari simpati masyarakat, yang ada malah mendatangkan antipati masyarakat. Seperti yang diberitakan Kompas.com :

 Sebelumnya diwartakan, tim sukses calon gubernur DKI Jakarta DKI Fauzi Bowo diduga mencuri start dengan membagi-bagikan selebaran bergambar Fauzi. Selebaran berisi isu agama tersebut dibagikan tokoh pendidikan Arief Rachman di masjid saat tarawih di kawasan Jl Blekok, Rawamangun, Jakarta Timur. Terkait pembagian selebaran di masjid di kawasan Jalan Blekok ini, Ramdhansyah mengatakan bahwa pihaknya belum mendapat laporan soal hal itu.

 Cara-cara yang tidak efektif seperti itu tidak perlu lagi dilakukan, seperti misalnya menitipkan pesan pada para pendakwah dimesjid-mesjid. Karena cara ini akan sangat ketahuan kalau apa yang disampaikan merupakan pesanan. Masyarakat yang datang ke Mesjid bukanlah masyarakat yang ingin mendengar pesan politik, mereka datang ke Mesjid ingin mendengar pesan-pesan moral tentang perbuatan baik dan segala benyuk kebaikan, jadi kalau mengumbar pesan yang bertujuan tidak baik maka apa yang disampaikan tidaklah tepat sasaran.

 Untuk pemimpin yang tergolong ambisius dan kurang elok kepemimpinannya, Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam membeberkan ciri-ciri mereka,

"Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Diatas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai." ( HR.Athabrani)

Suasana Ramadhan ini harusnya diperbanyak menebar kebaikan, bukanlah memperlebar permusuhan. Dekatilah rakyat dengan bijak, bantu mereka dan senangi mereka dengan segala keikhlasan dan penuh ketulusan. Biarakanlah mereka memberikan penilaian secara bijak, mana yang baik dimata mereka, dan pemimpin seperti apa yang mereka butuhkan. Jangan lagi ada rekayasa dalam pemilihan, jadikanlah ini kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang memang sesuai dengan pilihan. Foto illustrasi : Kompas.com

Personal Branding dan Personal Image Cagub DKI





Ketika salah satu dari Kandidat Cagub dan Cawagub DKI Jakarta, Jokowi_Ahok muncul dan menjadi perhatian publik, kubu Status Quo banyak yang sinis dan menganggap enteng keberadaan mereka. Sementara Kandidat yang lain memang adalah tokoh-tokoh yang sudah dianggap populer dimasyarakat, dan didukung pula oleh partai-partai yang “Sangat Populer” dimasyarakat. Yang sangat disayangkan, kandidat lainnya meskipun Populer tapi tidak memiliki Personal Branding dan Personal Image.

Sebagai wajah baru, Jokowi_Ahok dengan segala kebersahajaannya namun dengan bekal berbagai prestasi sebagai Kepala Daerah, dan prestasi tersebut diketahui publik bukan hasil rekayasa media, tapi prestasi yang diceritakan masyarakat dari mulut kemulut, dan media mem-publish semua itu kemasyarakat dengan apa adanya, sehingga prestasi tersebut menjadi Personal Branding kedua Tokoh ini. Masyarakat menangkap pemberitaan tersebut secara positif, sehingga masyarakat menentukan Inilah Pemimpin yang sesuai dengan harapan.

Dengan mengadobsi cara berpolitik Santunnya partai Demokrat (padahal Cagub yang dicalonkan Demokrat sendiri tidak berpolitik secara santun), Jokowi_Ahok terus mensosialisasikan diri, serta visi mereka yang cukup rasional dan tidak mengada-ada juga tidak berlebih-lebihan, dengan melalkukan pendekatan secara langsung kepada masyarakat yang terpinggirkan, bukan melalui partai politik. Dengan cara itu pulalah Personal Image kedua tokoh ini terbangun. Bahwa pada akhirnya masyarakat memilih dan memenangkan mereka itu tidaklah salah.

Tidak pernah membangun konflik dengan Cagub yang lainnya sekalipun diserang dengan berbagai isu negatif, dan tidak membalas serangan dengan cara negatif pula. Sikap seperti inilah yang semakin menambah simpati masyarakat pada kedua tokoh ini, sementara Foke_Nara yang berpeluang sangat besar untuk meraih kemenangan malah kehilangan simpati masyarakat, yang mengakibatkan Personal Image nya semakin buruk, ditambah lagi secara terus menerus membangun image negatif lawan-lawannya, inilah yang tambah memperburuk image Foke_Nara.

Di putaran kedua, sepertinya Foke_Nara tidak berusaha memperbaik Personal Image nya, lebih kalap menghadapi kekalahan sehingga melakukan serangan secara negatif terhadap Jokowi_Ahok, sementara Jokowi_Ahok dengan segala kerendahan hatinya sekali pun sudah menang, tetap melawan serangan tersebut dengan segala kebersahajaannya, tidak pernah takut kehilangan dukungan karena berbagai isu negatif tersebut. Sikap seperti ini semakin menambah simpati masyarakat, karena semakin seseorang terdzolimi, maka semakin terangkat personal image nya. Sementara kubu penyerang malah akan semakin kehilangan simpati masyarakat.

Inilah kelebihan-kelebihan Jokowi_Ahok dibandingkan rivalnya Foke_Nara yang begitu berambisi meraih kemenangan dengan cara merusak image Jokowi_Ahok. Padahal semestinya diputaran kedua ini adalah saatnya Foke_Nara kembali membangun simpati masyarakat yang sudah hilang di putaran pertama, alih-alih membangun simpati malah merusak citranya sendiri dengan membuka borok lawan yang belum tentu bisa terbukti.

Diskrimasi "Perlakuan Hukum" karena Politik




Terlihat sangat jelas kalau Penegakan Hukum di negara ini bersifat diskriminatif, perbedaan perlakuan terhadap tersangka atau pun terdakwa sangat menyolok sekali. Lihat saja Foto illustrasi diatas, tersangka korupsi, Bupati Buol Batalipu dengan cepat dan sangat mudah ditangkap, dan cara perlakuannya pun sangat berbeda dengan tersangka korupsi sekelas, Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, angelina Sondakh dan juga Miranda Gultom.

Tidak butuh waktu yang lama untuk memproses hukum kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Buol ini, karena Amran Batalipu “Bukanlah Orang Terkenal,” dan bukan pula merupakan orang yang dekat dengan kekuasaan, dan jelas berbeda dengan nama-nama tersebut diatas, dan kapasitas kasusnya juga sangat berbeda, maka cara memperlakukannya dan pengusutan kasusnya pun jelas berbeda.

Berapa lama KPK butuh waktu untuk mengusut kasus Wisma Atlet dan Hambalang ? Yang sampai sekarang tidak pernah jelas juntrungannya, sementara kasus Bupati Buol ini, belum berapa lama diekspos media, dan KPK bisa langsung menetapkan tersangka. Pada kasus Buol ini pun ada menyangkut orang yang dekat dengan RI 1, dan saya yakin kasusnya tidak akan berkembang sampai kesitu.

Apa yang sedang diproses KPK sekarang ini belumlah menyentuh apa yang sesungguhnya diharapkan, kasus Hambalang sudah mulai disebut-sebut akan terganjal pada sulitnya mencari alat bukti. Ini sebuah tanda-tanda kasus ini tidak akan tuntas pengusutannya, padahal secara kronologis kalau kita amati dari berbagai pemberitaan media sudah jelas siapa yang layak dijadikan Tersangka, tapi pengusutan kasusnya selalu ditunda-tunda. penundaan ini akan berakibat pada semakin menghilangnya berbagai alat bukti yang dibutuhkan untuk penyidikan.

Hal seperti ini sudah sangat telanjang kita lihat didepan mata, bahwa hukum di negara ini sangat diskriminatif, pejabat negara kelas teri akan sangat mudah ditangkap, begitu juga orang yang tidak terkenal, tapi lain halnya jika calon terdakwa adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan dan kasusunya pun agak menyerempet penguasa, maka pengusutan kasusnya dengan berbagai cara akan ditunda-tunda. Kesulitan mencari alat bukti selalu dijadikan alasan untuk menunda-nunda pengusutan, sementara barang bukti yang ada pun sudah bisa dihilangkan jejaknya.

Hoegeng Bukan "Polisi Tidur" tapi Polisi Jujur




Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan hari Ulang Tahunnya 1 Juli 2012 yang baru lalu. Kalau mengingat perayaan HUT Polri ini, ada sejarah yang cukup memilukan bagi seorang Mantan Kapolri, Jenderal Hoegeng Imam Santoso, karena di Era kepemimpinan Soeharto, Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli.

Padahal sebagai seorang mantan Kapolri, sudah sewajibnya Hoegeng menghadiri perayaan Hut Bhayangkara seperti umumnya mantan Kapolri lainnya, namun rupanya itu menjadi pengecualian bagi Hoegeng, sehingga setiap perayaan Hut Bhayangkara Hoegeng tidak pernah mendapat undangan untuk menghadiri perayaan tersebut, namun Hoegeng menerima kenyataan itu dengan kelapangan hati, tidak pernah merasa dikucilkan dari korp Kepolisian.
Sebagai seorang polisi, soal kejujuran, polisi mana yang bisa menandingi mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santosa. Selama karirnya di kepolisian, Hoegeng bekerja keras mengungkap berbagai kasus besar. Dia juga yang membersihkan polisi dari korupsi dan suap.

Sikap seperti yang dimiliki Hoegeng itulah yang tidak diwarisi oleh polisi dijaman sekarang, sehingga sosok Hoegeng menjadi simbol polisi yang jujur yang penuh dedikasi dan integritas yang pernah dimiliki Kepolisian Republik Indonesia.

Wajar saja kalau Hoegeng dikucilkan oleh Soeharto, Hoegeng adalah tokoh Petisi 50. Kelompok itu dianggap menentang Soeharto. Anggota Petisi 50 di antaranya adalah Jenderal Nasution, Ali Sadikin, Hoegeng, Mohammad Natsir, dan Syafruddin Prawinegara. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980.

Tentang sosok Pak Hoegeng ini saya juga punya kenangan diwaktu masih kecil, saya sering menonton acara Irama Lautan Teduh di TVRI, yang mana beliau dan isterinya selalu mengisi acara tersebut, kalau gak salah seminggu sekali, dengan Group musiknya Hawaian Senior. Namun lagi-lagi tayangan ini pun dicekal Soeharto, karena ketidaksenangan Soeharto pada Hoegeng.

Tidak pernah jelas mengapa acara tersebut dicekal. Alasan “resminya” karena acara tersebut dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Tetapi diduga pencekalan itu berkaitan dengan keikutsertaan Pak Hoegeng menandatangani “Petisi 50” yang berisi kritikan keras terhadap Pak Harto.

Kembali pada pelarangan kehadiran Hoegeng di acara Hut Bhayangkara, menjelang akhir Pemerintahan Orde Baru, di tahun 1997, Kapolri Jenderal Dibyo Widodo datang ke kediaman Hoegeng. Dibyo mengundang Hoegeng untuk menghadiri peringatan HUT Bhayangkara 1 Juli 1987. Dibyo yang tahu Hoegeng tak punya mobil pun memberikan hadiah sebuah Mitsubishi Lancer bernomor B 733 DW. Dengan hati-hati Dibyo meminta Hoegeng menerima hadiah itu. Dia tahu Hoegeng selalu menolak pemberian mewah.

“Ini pemberian saya kepada Pak Hoegeng, sebagai rasa terima kasih saya kepada Kapolri pertama lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Jadi ini harap diterima karena saya berterima kasih sekali kepada bapak,” ujar Dibyo seperti ditulis dalam buku ‘Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-’ terbitan Bentang.

Maka sejak itu, Hoegeng kembali hadir setiap tanggal 1 Juli di HUT Bhayangkara. Pak polisi jujur itu kembali ke tengah barisan korps baju coklat yang sangat dicintainya.

Hoegeng terakhir menghadiri HUT Polri tahun 2001, sebelum meninggal tahun 2004.




Sumber tulisan :


Bangsa Asing tidak "Lebih Unggul" dari Bangsa Kita


Kenapa Bangsa ini lemah, kenapa Bangsa ini begitu terpesona oleh kehebatan bangsa asing, sehingga tersugesti, kita hanya bisa hidup dibawah bayang-bayang bangsa asing.


Sejarah mencatat, para pendiri Bangsa ini berusaha sekuat tenaga menghilangkan sugesti seperti itu, mereka sadar betul kalau bangsa ini sudah di Injeksi Psikologis oleh bangsa kolonial pada waktu itu, bertahun-tahun bangsa Indonesia hidup dibawah pesona kolonial, sampai-sampai percaya pada kelumpuhannya dan betapa perlunya ada penjajah untuk membimbingnya.


Kesadaran seperti ini menjadi pemikiran Bung Hatta, untuk memerdekakan bangsa ini dari Injeksi psikologis bangsa kolonial, seperti yang tertuang dalam: “Nukilan pembelaan bung Hatta di depan pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928”.


Sistem kolonial Belanda yang bertolak dari pendirian bahwa Indonesia harus terus menerus merupakan embel-embel daripada “Firma Nederland” tidaklah cocok untuk memupuk gairah kemerdekaan pada warga jajahannya yang bumiputera itu. Dari hari kehari diperingatkan ke kaum bumiputera bahwa mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk memimpin, mereka tidak cakap untuk mengambil inisiatif, sehingga mereka ditakdirkan untuk sejak dari kecilnya bekerja dibawah pimpinan bangsa Eropa. Injeksi ini melemahkan urat saraf orang-orang Indonesia yang lemah wataknya. Dan keragu-raguan orang-orang Indonesia akan kemampuan sendiri oleh penjajah dipupuk terus menerus dengan cara apa saja


Seperti inilah pemikiran Bung Hatta terhadap bangsanya, berdasakan pemikiran inilah perlahan-lahan menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa kita sudah ter Injeksi secara psikologis oleh bangsa kolonial, dan bangsa ini harus segera terlepas dari segala bentuk sugesti, bahwa bangsa Indonesia itu lemah.


Apa yang kita alami saat ini tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dihadapi bangsa ini diwaktu yang lalu, ketergantungan kita kepada bantuan Asing begitu kuat, sehingga kita kurang memikirkan potensi sendiri, tidak pernah mau berusaha untuk bangkit,membangun semua kekuatan yang ada.


Kalau dulu bangsa ini terinjeksi secara psikologis, sekarang bangsa ini di Injeksi secara Finansial oleh bangsa asing, sehingga lebih senang hidup dibawah bayang-bayang bangsa asing, seperti yang Bung Hatta bilang, “Kelemahan bangsa ini terletak pada Wataknya”, makanya Bung Karno pun pernah menuangkan gagasan “Nation and Character Building”.


Kesadaran untuk “Indonesia Medeka” , merupakan dorongan yang kuat bagi para pendiri bangsa ini, tidak saja memerdekakan dari penjajahan, tapi juga memerdekakan bangsa ini dari kelemahan dan kebodohan, betapa besar jasa mereka terhadap bangsa ini, tapi kenapa sekarang kita kembali menjadi bangsa yang bodoh dan lemah ? Tak berdaya mengahadapi tekanan-tekanan dari negara-negara yang men-Injeksi secara Finansial ? Kenapa kita tidak bergotong royong membangun kekuatan sendiri, membangun potensi bangsa, meningkatkan pendidikan, membangun moral bangsa yang sudah porak-poranda ?


Karena kita sudah terbius oleh pesona kehidupan yang serba ada, sehingga tidak lagi mau berusaha, pola hidup yang senang berpoya-poya, sehingga lupa kalau kita ini adalah bangsa yang tidak berdaya dan lemah wataknya.


“Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah Kemerdekaan Tanah Air. Dengan carademikian kita memupuk warganegara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadian yang tertinggi bagi Tanah Air kita” (Bung Hatta)



Sumber tulisan :

Buku Mahakarya SOEKARNO – HATTA tonggak pemikiran Bapak Bangsa

Editor :Suwidi Tono

Orang-Orang "Tanpa Kepala"



illustrasi : sbelen.wordpress.com

Aku masih pakai kepala
Tapi aku bertanya seperti apa
Kalau ada orang-orang tanpa kepala
Ikut mengelola negara ini
Sungguh aku tidak bisa membayangkan
Negara dikelola orang-orang tanpa kepala

Aku terus bertanya dan bertanya
Aku yang masih pakai kepala
Sulit membayangkan bagaimana mengelola negara
Sedangkan semua kepala sama hitamnya
Lantas bagaimana jika semua orang tanpa kepala
Lebih sulit membedakannya

Entahlah bagaimana mungkin orang bisa bilang
Yang mengelola negara ini
Orang-orang tanpa kepala, dan juga tanpa hati
Sejenis manusia apakah ini..
Apakah mereka manusia dari planet yang berbeda
Sehingga tak berwujud layaknya manusia biasa

Orang-orang tanpa kepala
Menggerogoti negara dengan suka-suka
Negara gagal pantas disandang Indonesia
Indonesia menjadi tertawaan dunia
Karena dalam hal korupsi dianggap Jawara
Tapi aku tetap tidak malu jadi orang Indonesia
Meskipun dikelola orang-orang tanpa kepala

Mungkin saja suatu saat
Kepala mereka kembali pada jasadnya
Menjadi manusia yang utuh dan
Bisa memanusiakan manusia lainnya
Orang-orang tanpa kepala sedang hidup
Diluar batas fitrahnya, mereka sedang lupa
Berpijak dibumi Nusantara..
Jakarta, 27 Juni 2012
Dari sudut Mataajinatha

"Kucing Belang" Proyek Hambalang




Kucing belang Hambalang bukan kucing Sembarang
Tak memakan ikan yang kecil juga bukan ikan yang besar
Kucing Belang Hambalang sejenis Kucing siluman
Yang senang memakan secara diam-diam
Dan suka bersenang-senang dengan diam..

Menggaruk tanah menimbun bangkainya
Pun secara diam-diam, sehingga kita hanya melihat
Sisa gundukan tanah kuburnya
Diantara puing-puing proyek yang tak terselesaikan
Karena uang pun sudah habis termakan..

Kucing Belang Hambalang
Pandai menutupi belangnya dan juga pandai berandai-andai
Sehingga semua tertipu dengan ngeongnya yang juga belang-belang
Kumis Kucing Belang Hambalang bukan juga sembarang Kumis
Kumis Kucing Belang seperti kumis Abang Jampang
Terpampang menampang diwajah belang nan belontang

Kucing Belang Hambalang menggaruk habis
Pundi-pundi negara, tidak peduli rakyat menjadi sengsara
Angka dan nilai rupiah berterbangan diterpa angin Hambalang
Yang bertebaran diantara puing dan tiang-tiang proyek
Yang entah kapan selesainya…
Kucing Belang Hambalang mulai kecut kehilangan Belang
Terpuruk disudut antara malu dan keangkuhan
——–
Jakarta, 23 Juni 2012
Dari sudut bukit Hambalang yang mulai terkangkang…
Salam Kompasiana.

Faktor Peneyebab "Korupsi di DPR"





Banyak faktor yang menyebabkan korupsi di DPR, sebagaimana kita ketahui lembaga ini dianggap sebagai salah satu lembaga Terkorup oleh banyak kalangan, hal ini terkait dengan berbagai kasus korupsi yang menyeruak akhir-akhir ini di lembaga tersebut, yang melibatkan beberapa anggota dewan baik anngota Komisi maupun Badan Anggaran.

Sebagai sebuah lembaga yang mempunyai posisi tawar yang bagus sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, sehingga Anggota DPR seperti merasa diatas angin, dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyelenggaraan negara. Padahal dibalik semua itu kalau benar-benar disadari oleh Anggota Dewan terhormat, ada beban dan tanggung jawab yang besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Anggota Dewan adalah Representasi dari rakyat yang diwakilinya, bukanlah pejabat negara yang mewakili dirinya sendiri atau partai.

Lembaga DPR mempunyai 3 Fungsi, yang mana fungsi ini tidak mungkin dimiliki lembaga lain, fungsi tersebut meliputi :
  1. Fungsi Legislasi

  2. Fungsi Anggaran

  3. Fungsi Pengawasan
Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. fungsi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan dalam hal perancangan undang-undang, dan kalau DPR tidak menjaga amanat rakyat maka DPR akan mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan eksekutif yang terkait dengan penerapan undang-undang yang dibutuhkan. Dalam hal ini DPR rentan terhadap Suap, dan suap adalah bagian dari Tindak Pidana Korupsi.

Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Pada kalimat Memberikan persetujuan dan tidak memberikan persetujuan diatas, jelas menandakan DPR mempunyai posisi tawar, dan posisi ini juga bisa disalahgunakan, sangat mungkin terkait persetujuan anggaran ini DPR mudah untuk disuap.

Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN. Pada fungsi ini pun DPR bisa dilemahkan dengan Suap, sehingga pada akhirnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN pun berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Semua terlihat secara terang benderang bahwa DPR tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Tiga faktor diatas yang terkait dengan fungsi DPR adalah hal yang menyebabkan lembaga DPR termasuk lembaga terkorup sekarang ini. Selain itu persolan mentalitas dan Moralitas adalah hal yang sangat mendasar yang membuat terjadinya Korupsi di DPR.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi di DPR tidak mungkin hanya DPR yang terlibat, jelas ada peran Eksekutif yang turut berperan dalam berbagai proyek yang di Korupsi. Kongkalingkong anatara eksekutif dan legislatif ini sudah menjadi rahasia umum, jadi kalau pejabat sekelas Presiden tidak tahu telah terjadi penyelewengan APBN itu memang sangat mustahil.

Diakui oleh presiden SBY proses alokasi APBN dan APBD masih banyak yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan ada indikasi dikorupsi. SBY mengaku temuan-temuan itu menjadi evaluasi khusus pemerintahannya. “Oleh karena itu, saya instruksikan kepada jajaran pemerintah untuk membenahi perencanaan dan implementasi dari APBN dan APBD kita,”

Melihat pernyatan SBY tersebut diatas tentunya sebagai Presiden SBY cukup mengetahui adanya lobi-lobi yang tidak transparan anatara DPR dan pejabat eksekutif, hanya saja kita tidak tahu tindakan tegas apa yang bisa dilakukan SBY, yang jelas SBY hanya mengeluarkan sekedar himbauan atau Instruksi, sesuai dengan kapasitasnya sebagai presiden.